Polemik UN, Tak Perlu Tunggu Fase Terakhir Belajar Siswa

- Senin, 2 Desember 2019 | 12:07 WIB

JAKARTA – Ide Ujian Nasional (UN) tetap dipertahankan sebagai pemetaan dianggap tak sesuai dengan fakta di lapangan. Tak ada perbaikan nyata setelahnya. Bahkan, waktu pelaksanaanya pun dirasa kurang tepat. 

Menurut Pengamat Pendidikan Asep Sapaat, pelaksanaan UN saat ini memang sudah jauh mendingan dibanding dulu. Dulu UN masih jadi syarat kelulusan nasional. Tentu ini jadi keputusan yang tidak fair ketika melihat kondisi di lapangan, kualitas pendidikan masih tidak merata. 

’’Seperti balapan. Satu pakai ferari satu mobil biasa. Papua sama Jakarta, gak usah dibalapin juga ketahuan hasilnya,” tuturnya pada koran ini (1/12). 

Ketetapan itu pun bahkan menjerumuskan siswa dan guru. Pada masa itu, dilaporkan adanya 1.300 kasus contek massal yang melibatkan tenaga pendidik. Artinya, ini semangat yang paradoks. Di satu, sisi ingin menguatkan pendidikan karakter tapi di sisi lain UN justru menciptakan ketidakjujuran yang terstruktur, sistematis, dan masif. 

Tapi, bukan berarti pelaksanaan saat ini sudah membaik. Alasan UN untuk pemetaan dan perbaikan sistem pendidikan nyatanya tak ada hasil. ’’Itu pun gak jelas datanya. Apakah benar-benar digunakan untuk perbaikan sistem sekolah dan kompetensi guru atau tidak kita gak tahu,” paparnya. 

Sebab, lanjut dia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tak pernah membuka datanya. Ketika hasil UN keluar dan sudah ditelaah, pemerintah tak menjabarkan faktor apa yang harus diperbaiki dan sejauh apa progress perbaikan setelahnya. Misal ketika nilai UN matematika siswa anjlok di suatu daerah. Ada identifikasi penyebab, apakah terkait sarana atau tenaga pendidik. Kemudian, bagaimana penyelesaiannya. ’’Tapi kan gak pernah dibuka juga. Jangan sampai UN hanya prosedural saja. karena ini biayanya mahal sekali, bisa miliaran sampai triliunan,” tegasnya. 

Selain itu, kata dia, jika benar digunakan untuk pemetaan dan perbaikan sistem pendidikan harusnya UN tak usah dipaksakan di akhir masa pembelajaran siswa. Pemetaan ini bisa dilakukan di awal atau di tengah-tengah. 

GM Pendidikan Dompet Dhuafah itu berpendapat, ketika dipetakan sejak awal, ketika siswa baru masuk, maka bisa terdiagnostik kemampuan anak di masing-maisng sekolah atau daerah. Dengan begitu, sisa tahun ajaran dapat digunakan untuk mengejar ketertinggalan atau memperbaiki kekurangan untuk mencapai standar minimal. ’’Kalau disimpan di akhir buat apa dong?” ujarnya. 

Karena itu, dia meminta agar Mendikbud benar-benar melakukan assessment ketika ingin merombak sistem UN. Susbstansi UN harus disepakati dulu. Jangan melulu mengulangi kesalahan yang sama. Kemudian, guru harus dilibatkan. Sebab, mereka paling tahu kondisi di lapangan. ’’Guru juga punya hak untuk mengevaluasi. Tapi kan sekarnag diambil alih semua oleh pusat,” keluhnya.  

Di sisi lain, perubahan jenis soal juga harus dipertiimbangkan. Menurutnya, selama ini soal yang diujikan hanya menguji kemampuan berfikir tingkat rendah. Siswa tidak diajak untuk berfikir ke tingkat high order thinking skill. Yang mana, kemampuan ini bakal dibutuhkan siswa ketika sudah lulus.

Sementara itu, wacana penghapusan UN langsung direspon parlemen. Menyikapi wacana tersebut, Wakil Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian mengatakan pihaknya segera menggelar rapat kerja dengan Kemdikbud. ’’Kami ingin dapat penjelasan dari Mas Nadiem (Mendikbud, Red). Sebenarnya yang benar bagaimana,” kata Hetifah.

Menurutnya, wacana tersebut harus dikaji secara mendalam. Jika UN benar-benar dihapus 2021, pihaknya siap memberi sejumlah rekomendasi. Salah satunya melakukan asesmen secara berkala. ’’Seringkali UN memberikan tekanan dan beban berat bagi siswa maupun guru,” paparnya.

Disampaikan, jika benar UN dihapus maka perlu mekanisme lain untuk melakukan evaluasi. Nah, asesmen secara berkala bisa dilakukan secara menyeluruh. ’’Mungkin bisa setahun sekali sesuai dengan kajian yang mendalam,” paparnya.

Asesmen berkala, imbuh dia, harus menjadi alat pemetaan bagi peserta didik. Sekolah dan pemerintah daerah harus secara jujur melakukan evaluasi. Hasil asesmen tersebut harus menjadi acuan dalam perbaikan mutu pendidikan. ’’Kekuraangan di sekolah tertentu harus diperbaiki sesuai kebutuhan,” papar politisi peraih master kebijakan publik dari National University of Singapore, itu.

Pihaknya juga meminta guru untuk memanfaatkan perkembangan teknologi untuk membangun sistem pendidikan yang kekinian. Pemanfaatan teknologi akan menjadi big data dalam perbaikan kualitas pendidikan masing-masing daerah. (mia/mar)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X