JAKARTA–Penguatan sistem pencegahan korupsi di Badan Pertanahan Nasional (BPN) mendesak dilakukan. Itu setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar praktik penerimaan gratifikasi dalam pelayanan pendaftaran tanah. Praktik culas itu tidak sejalan dengan keseriusan pemerintah memberikan pelayanan di sektor pertanahan, beberapa tahun terakhir.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, otoritas pertanahan sejatinya memiliki perangkat hukum pencegahan korupsi. Di antaranya, Peraturan Kepala BPN Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan BPN. “Seharusnya hal ini (peraturan pengendalian gratifikasi) dipatuhi oleh seluruh pejabat BPN,” ujarnya, kemarin (30/11).
KPK sebelumnya menetapkan dua pejabat BPN sebagai tersangka penerimaan gratifikasi. Yakni Gusmin Tuarita (mantan kepala Kanwil BPN Jawa Timur) serta Kabid Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kanwil BPN Kalimantan Barat Siswidodo.
Gusmin yang juga mantan kepala Kanwil BPN Kalbar itu diduga menerima gratifikasi Rp 22,23 miliar terkait pengurusan hak guna usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit di Kalbar. Uang itu diterima melalui Siswidodo selama kurun 2013–2018.
Laode meminta inspektorat atau aparat pengawas internal pemerintah (APIP) di BPN untuk lebih serius melakukan pengawasan. Terutama terkait praktik pungutan liar (pungli) atau gratifikasi oleh pejabat BPN.
Bagi KPK, praktik rasuah semacam itu sangat memprihatinkan. “Hal ini tentu bisa saja mendorong praktik ekonomi biaya tinggi dan tidak tertutup kemungkinan menjadi faktor penghambat investasi,” tegasnya.
Penerimaan gratifikasi sejatinya dilaporkan ke Direktorat Gratifikasi KPK paling lambat 30 hari kerja. Pelaporan itu merupakan bagian dari pencegahan korupsi. Bila pelaporan dilakukan sesuai aturan, tidak ada risiko pidana dalam penerimaan itu. “Namun jika tidak dilaporkan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja, hal tersebut berisiko pidana,” imbuh dia. (tyo/JPG/rom/k8)