TENGGARONG-SMA Filial Muara Siran sejatinya berada di bawah naungan yayasan. Namun, tak terakreditasi, membuat induknya di bawah naungan SMA 1 Muara Kaman. Sayang, pendidikan di sana tak ditunjang maksimal.
Koordinator SMA Filial Muara Siran Mutana Pisun mengatakan, listrik jadi salah satu kendala sekolah. Sebab, hanya menyala mulai pukul 18.00–07.00 Wita. “Hanya malam ada listrik untuk penerangan,” ungkapnya. Lantas, sistem UNBK yang mengharuskan melalui komputer, jadi kesulitan. “Menumpang di SMA 1 Muara Kaman yang saat itu hanya bisa dijangkau melalui transportasi sungai (kapal ces),” ujarnya.
Sebelum ada jalan darat, untuk keluar dari desa itu cukup memerlukan biaya yang cukup besar. Lantaran tak bisa membawa kendaraan pribadi untuk berurusan ke Kutai Kartanegara. “Sekarang sudah ada jalan darat, biaya sedikit berkurang. Biasanya Rp 200 ribu sampai Tenggarong,” ungkapnya. Namun, sudah ada feri penyeberangan yang menghubungkan ke jalan darat, cukup mengisi bensin kendaraan pribadi dan membayar jasa pelayaran feri.
Hal itu membuat banyak anak yang putus sekolah dua sampai tiga tahun lalu. Lantaran jalan darat baru bisa dilintasi setahun ke belakang. “Angka putus sekolah dari SMP ke SMA di sini (Muara Siran) cukup tinggi, yang sekolah atau ke pondok setelah lulus SMP bisa dihitung jari, padahal penduduk hampir seribu jiwa,” jelasnya.
SMA Filial, diceritakannya, semula sekolah swasta yang dikelola yayasan. Namun, karena tak terakreditasi, tak bisa meluluskan siswa. Mulai saat itu menjadi induk SMA 1 Muara Kaman. Tahun ajaran 2019-2020, hanya 14 siswa dengan total keseluruhan 48 siswa. “Sekolah ini terkadang mendapat dana BOS, biasanya untuk rehab. Kalau tak ditanyakan biasanya enggak dapat,” bebernya.
Sejak 2014, tenaga pengajar kontrak dari Disdik Kaltim mendapat gaji yang setiap bulan untuk biaya bertahan hidup. Sebab, guru di sana kebanyakan berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). “Biaya hidup cukup mahal, gaji yang diterima dipaksakan saja,” kuncinya. (adw/dra/k16)