JAKARTA- Perlawanan terhadap kebijakan diskriminasi kelapa sawit yang ditetapkan Uni Eropa terus disampaikan Indonesia. Dalam pertemuan dengan delegasi Uni Eropa di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin (28/11), Presiden Joko Widodo menyampaikan keresahannya terhadap kebijakan yang merugikan Indonesia itu. Jokowi mengatakan, hubungan Indonesia dengan Uni Eropa sebetulnya sangat baik. Hanya saja, kebijakan diskriminasi sawit menjadi ganjalan dalam beberapa waktu belakangan. Dia juga menyayangkan berbagai penjelasan yang disampaikan pemerintah Indonesia terkait dampak lingkungan tidak mendapat perhatian dari Uni Eropa.
"Tentu saja, Indonesia tidak akan tinggal diam dengan diskriminasi ini," kata Jokowi. Jokowi memastikan, upaya untuk melawan kebijakan tersebut akan terus dilakukan. Salah satu rencananya adalah dengan memasukkan persoalan sawit dalam perundingan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa (Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA).
"ASEAN dan UE telah kelompok kerja untuk minyak kelapa sawit. Saya berharap kelompok kerja dapat berkontribusi untuk menyelesaikan masalah kelapa sawit," imbuhnya.
Sebelumnya, Komisi Uni Eropa memutuskan untuk melarang penggunaan sawit sebagai bahan biofuel. Mereka beralasan, budi daya kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi secara berlebihan yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Ketentuan itu akan diatur dalam pembentukan undang-undang Renewable Energy Directive II (RED II), untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan menjadi 32 persen pada tahun 2030. Dalam rancangan UU tersebut, penggunaan bahan baku biofuel yang berbahaya akan dihentikan secara bertahap pada 2019 hingga 2023 dan dikurangi menjadi nol pada 2030.
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengingatkan, resiko dari kebijakan tersebut. Dia menyebut, diskriminasi itu berpotensi merusak hubungan baik Uni Eropa-Indonesia. Padahal, lanjut dia, perdagangan sawit hanya sebagian kecil dari total nilai perdagangan Indonesia-Uni Eropa. Yakni USD 650 juta dari total USD 31 miliar.
"Jadi jangan sampai 650 juta itu ganggu bilateral Indonesia dengan EU," ujarnya. Politisi Golkar itu juga menambahkan, Uni Eropa perlu mempertimbangkan status Indonesia sebagai pembeli terbesar produk pesawat Airbus. Bahkan saat ini, masih ada order 200 unit pesawat yang dipesan Indonesia. Dia menegaskan, sikap utama pemerintah Indonesia tidak ingin hubungan baik itu rusak. "Jadi kami jalan keluar terkait masalah biodiesel di eropa," tuturnya.
Bagi Indonesia, pelarangan penggunaan sawit akan sangat merugikan. Selain menurunkan angka ekspor, kebijakan itu bisa mengancam mata pencaharian jutaan petani sawit. (far)