Singkirkan 538 Pendaftar, Terpilih karena Isu Perempuan dan Politik

- Rabu, 27 November 2019 | 12:02 WIB

Hubungan bilateral Indonesia-Amerika memasuki usia 70 tahun. Setiap tahun, negara itu membiayai penuh program pertukaran profesional. Memberi kesempatan pemuda terpilih transfer ilmu selama tiga minggu.

 

Raden Roro Mira, Samarinda

 

AWAL Mei lalu, Hanna Pertiwi melihat story Instagram temannya. Memuat informasi mengenai pendaftaran Outstanding Youth for The World (OYTW) dan International Visitor Leadership Program (IVLP) di Amerika Serikat (AS). Dia hanya sekilas melihat tanpa minat. Isinya merupakan program kerja sama antara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Department of State (DoS). Bertujuan membangun pemahaman mengenai hubungan Indonesia dan AS. Mempererat hubungan kedua negara sebagai mitra strategis. 

Spesialnya, tahun ini IVLP bertajuk #IndonesiaUSA70th Youth Ambassador. Sehingga yang berangkat adalah 10 pemuda berusia 18-25 tahun. Sebelumnya diperuntukkan untuk profesional di berbagai bidang. Selama 70 tahun dilaksanakan, tercatat 320 alumnusnya menjadi pemimpin negara. Di antaranya Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Perdana Menteri Australia Julia Gillard, Presiden Turki ke-11 Abdullah Gul, hingga Presiden Prancis Nicolas Sarkozy. 

“Ternyata informasinya ada di mana-mana (di berbagai media sosial), akhirnya tertarik. Apalagi kegiatan tersebut berhubungan dengan diplomasi dan politik. Hal yang kusukai,” sebut mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul) tersebut.

Dia pun membuat esai bertema perempuan dan politik, melengkapi berkas dan mengunggah video profil di YouTube. Bersaing dengan 548 pendaftar se-Indonesia. Tak berharap lolos. Hanna menikmati hari seperti biasa. 

Pada Kamis, 23 Mei lalu, pengumuman tahap I keluar. Sebanyak 60 orang dinyatakan berhak mengikuti tahap II. Hanna menemukan namanya di urutan 23, sesuai abjad. Jantungnya berdegup kencang. “Senang jelas! Besoknya dihubungi panitia. Video call dan interview singkat mengenai esai yang kubuat. Temaku ternyata beda dengan peserta lain. Mungkin plusnya di situ,” jelas Hanna. Dia menyoroti tentang porsi kursi 30 persen bagi politisi perempuan. Sedangkan peserta lain banyak menyoal keberagaman dan peran pemuda.

 Akhir Mei, perempuan kelahiran 1995 itu kembali dihubungi panitia. Dia masuk 20 besar. Perwakilan Unmul bersanding dengan nama kampus beken. Universitas Indonesia Depok, Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, Universitas Padjajaran Bandung hingga Universitas Melbourne Australia. Diundang ke Jakarta untuk seleksi tahap III pada 18-20 Juni. Lagi-lagi Hanna tak berharap banyak. Menjadi 20 besar dari 548 pendaftar sudah cukup membuatnya bangga. 

“Kegiatannya di Kemenlu dan Gedung Pancasila. Lebih banyak seleksi tentang kelompok seperti focus group discussion (FGD),” terang mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Inggris itu. Seleksi tahap III selesai. Dia masih ingat, 8 Juli kembali dihubungi. Kali ini perwakilan Kedutaan Besar AS yang berbicara. “Ditanya pendapat mengenai politik, minoritas dan beberapa isu sensitif. Sebab kita tahu, Amerika memang cukup selektif memilih orang yang masuk ke negaranya,” papar Hanna. 

Proses seleksi masih berlanjut. Sebab dari 20 besar, hanya separuh yang diberangkatkan ke Amerika. Pada 23 Agustus, Hanna diminta memenuhi beberapa syarat berkas. “Enggak dibilang buat apa, disuruh lengkapi. Aku sudah curiga itu untuk visa,” kata dia. Benar saja, enam hari kemudian namanya tercetak jelas di pengumuman 10 orang yang bertolak ke AS pada 24 Oktober-16 November. Sebuah pencapaian terbesar dalam hidupnya. Dia bahkan tak pernah memimpikan ingin ke negara Paman Sam. 

“Apalagi sembilan orang lainnya yang lolos itu mahasiswa hebat semua menurutku. Bahkan ada anaknya Pak Anies Baswedan yang juga lolos, Mutiara Annisa Baswedan,” ungkap Hanna. Menurutnya, dia memegang amanah besar. Membawa nama kampus dan provinsi. Awalnya minder sempat menghantui. Namun dia membuktikan, bahwa pemuda daerah khususnya Samarinda ternyata mampu bersaing. 

“Selama di sana, mengunjungi empat negara bagian. Setiap negara ada tema masing-masing. Kepemudaan, politik, ekonomi, keamanan, lingkungan, pendidikan dan lain-lain,” ujarnya. Hanna menginjakkan kaki di Washington DC, New York, New Orleans dan San Francisco. “Hal pertama yang paling beda (dibanding Indonesia) itu ritme manusianya. Di sana serbacepat.” 

Matanya lebih terbuka. Pikirannya makin luas. Dia mengakui, AS memang negara adidaya. Namun, negara yang dipimpin Donald Trump itu masih menghadapi banyak persoalan mendasar. “Beberapa guru besar dari universitas di sana yang kami kunjungi, mengakui jika Indonesia itu hebat untuk beberapa aspek. Kita adalah negara yang paling potensial diajak kerja sama,” pungkas Hanna. (riz/k15/bersambung)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X