JAKARTA– Kementerian Agama (Kemenag) tidak manmpik adanya pesantren yang diduga berpotensi mengajarkan radikalisme kapada para santrinya. Namuan versi Kemenag hanya ada dua pesantren. Berbeda dengan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang pernah menyebut ada 19 pesantren ajarkan radikalisme.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin mengatakan Balitbang-Diklat Kemenag juga melakukan penelitian soal potensi radikalisme di pesantren. ’’Hasil yang disampaikan BNPT itu (ada 19 pesantren ajarkan radikalisme, Red), teman-teman Balitbang Kemenag mengatakan tidak sebanyak itu,’’ katanya saat ditemui ditemui usai pembukaan expert meeting pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia di Jakarta kemarin (26/11)
Kamaruddin mengatakan hasil dari penelitian Balitbang Kemenag ada dua pesantren yang berpotensi dan terindikasi mengajarkan radikalisme. Dia menegakan status kedua pesantren itu masih sebatas berpotensi dan terindikasi. Tetapi belum mengarah pada kegiatan pendidikan yang benar-benar mengajarkan radikalisme kepada para santrinya.
Dia lantas menjelaskan instrument yang digunakan untuk mengukur sebuah pesantren berpotensi mengajarkan radikalisme atau tidak. ’’Selama ini penelitian itu terkait intolenasi,’’ katanya. Salah satu caranya adalah dengan menyusun sejumlah pertanyaan khusus yang ditujukan kepada pihak pesantren.
Kamaruddin kemudian membeber contoh pertanyaan yang diajukan peneliti kepada pesantren. ’’Salah satunya (pertanyaan, Red) soal apakah anda setuju apabila Pancasila diganti?’’ kata Kamaruddin. Jika ada unsur pesantren objek penelitian yang menjawab setuju, berarti terindikasi radikal secara politis.
Menurut Kamaruddin gejala tersebut menjadi ancaman dan harus diberikan treatment secara spesifik. Kemudian dia menyebutkan contoh pertanyaan lainnya. Seperti apakah anda setuju pemimpin non-muslim? Dengan jawaban seperti itu, ada yang menjawab setuju atau tidak setuju. ’’Mungkin (jawaban tidak setuju, Red) itu bisa dikategorikan intoleran,’’ katanya.
Kamaruddin tetap enggan menyebutkan dua pesantren yang berpotensi mengajarkan radikalisme itu. Termasuk berasal dari daerah mana, dia juga tidak bersedia mengungkapkannya. Kamaruddin meminta untuk menanyakan langsung kepada penelitinya dari Balitbang-Diklat Kemenag.
Kepala Balitbang-Diklat Kemenag Abdurrahman Ma’sud tidak bersedia memberikan keterangan. Dia lantas mengarahkan kepada penelitinya yang bernama Husen Hasan Basri. Namun Husen juga belum berkenan memberikan keterangan lebih lanjut soal penelitiannya tersebut. ’’Saya laporkan dahulu ke pimpinan,’’ katanya. (wan)