Menengok Direct Call di KTT Balikpapan yang Belum Maksimal

- Senin, 25 November 2019 | 13:06 WIB

Direct call di Pelabuhan Kaltim Kariangau Terminal (KKT) belum maksimal. Padahal sudah digadang-gadang KTT mampu melakukan kegiatan ekspor-impor langsung (direct call) ke negara-negara Asia. Minimnya komoditas yang akan diekspor dianggap sebagai biang kerok. 

 

DIRECT call dari Pelabuhan Kariangau Balikpapan diketahui mampu memangkas waktu dan biaya pengiriman barang dari Kaltim ke sejumlah negara. Contoh, biasanya ekspor ke Tiongkok dari Kaltim memerlukan 37 hari, kini cukup 17 hari. Alias bisa memangkas 20 hari proses ekspor dengan program tersebut. Program ini, sebenarnya menjadi kesempatan bagi produk lokal untuk go internasional. Namun sejak program ini dilakukan pada 2018, belakangan malah jarang terdengar pergerakannya. 

Kepala Bidang Perdagangan, Disperindagkop dan UKM Kaltim Heni Purwaningsih mengatakan, upaya program ini terus diwujudkan. Meskipun masih kekurangan komoditas. Secara data di Kaltim mampu melakukan ekspor hingga 1.500 kontainer per tahun. Namun banyaknya komoditas ekspor Bumi Etam, masih singgah di Surabaya dan Jakarta. 

“Kita harapkan para pengusaha bisa pelan-pelan mengubah jalur ekspor, dan menyukseskan program ini,” jelasnya. Pihaknya mengakui, butuh pekerjaan ekstra untuk mewujudkan agar program ini berjalan lancar. Terdapat sejumlah kendala yang dihadapi pengekspor. Pertama, soal pasokan. Ada sejumlah komoditas yang mempunyai permintaan pasar yang besar di luar negeri, namun suplainya masih kurang. Contohnya pisang, pasar ekspor komoditas ini sudah tersedia. Salah satunya di Malaysia, hanya suplai pisang masih minim. 

“Kita sudah sepakat untuk meningkatkan komoditas ekspor, sehingga dibutuhkan kerja sama semua sektor. Perkembangan pisang, jadi minim karena banyaknya lahan yang beralih fungsi menjadi pertambangan,” katanya. 

Hal itu yang membuat dibutuhkannya sektor lain untuk mendukung perkembangan komoditas ekspor jangka panjang. Volume ekspor saat ini terlalu sedikit jadi perusahaan pelayaran internasional menganggap tidak potensial. Volume pengiriman itu, minimal 100 kontainer per bulan. Tapi Kaltim tidak bisa penuhi itu. Namun bukan hanya karena minim komoditas. Faktor lain, para pelaku ekspor sudah memiliki jalur masing-masing. 

“Kalau dari volume ekspor kita ada 1.500-an kontainer per tahun yang kita ekspor namun lewat Surabaya dan Jakarta,” jelasnya. 

Dia menjelaskan, produksi yang banyak itu sudah punya jalur. Sehingga disarankan para pengusaha agar mau mengirimkan komoditasnya lewat Balikpapan. Saat ini, pemerintah daerah sudah memberikan solusi. Pihaknya berharap ekspor tersebut bisa diperdekat tidak ke Surabaya, namun lewat Makassar. Sehingga ke Makassar baru keluar negeri. Hal itu, tambahnya, agar perubahan jalur tidak begitu jauh. Sudah ada sekitar 70 kontainer dari Kaltim yang dilewatkan ke Makassar. Jika para pengusaha sudah banyak yang ikut, bahkan mencapai 100 kontainer, pelan-pelan akan pindah ke Balikpapan.

“Sedangkan untuk lewat Kariangau, baru 20 eksportir yang dikumpulkan. Kita harapkan pelan-pelan semuanya bisa pindah ke Kariangau,” jelasnya. 

Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Kaltim Muhammad Hamzah mengatakan, program direct call harus didukung oleh eksportir. Program itu merupakan salah satu solusi mempercepat barang ekspor, yang berujung pada efisiensi. Seharusnya sejak diluncurkan pada 2018, program ini bisa berjalan lebih baik.

“Kita sebagai eksportir mengakui bahwa program ini sangat bagus, dan bisa mempercepat waktu. Tapi kita punya hitung-hitungan, sebenarnya tidak memiliki selisih untung banyak dibandingkan jalur yang ada,” ungkapnya.

Namun, tambahnya, dari sisi kecepatan sampainya barang ke negara tujuan itu yang penting. Saat ini kendalanya belum terlaksana karena tidak ada industri yang mendukung program itu. Industrinya belum terbentuk. Daerah terdekat dari KKT harus memiliki industri pengembangan komoditas yang ada. Agar, program yang belum berjalan maksimal ini bisa berguna. Kebanyakan ekspor masih minim sehingga harus dikumpulkan dulu ke Surabaya agar lebih murah baru diekspor. Dibutuhkan pengembangan nilai tambah pada produk-produk Kaltim, agar potensi ekspor bisa maksimal.

“Kalau secara hitungan bisnis, direct call dari Balikpapan atau melalui Surabaya biaya logistiknya berbeda tipis. Hanya program ini dapat mempersingkat waktu,” pungkasnya. (ctr/far/k18)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X