Kaji Ulang Sertifikasi Nikah, Bimbingan Pranikah 2 Hari Saja Susah, Apalagi Pembekalan 3 Bulan

- Kamis, 21 November 2019 | 10:42 WIB

Pembekalan selama 3 bulan bagi pasangan yang ingin menikah berpotensi membuat calon pasutri merasa dipersulit, dan ujung-ujungnya justru memilih nikah di bawah tangan alias nikah siri.

BALIKPAPAN – Pasangan yang ingin menikah harus mengikuti pembekalan selama tiga bulan. Setelah mengantongi sertifikat dari proses tersebut, akad nikah bisa mulus. Ini rencana terbaru pemerintah pusat, khususnya dari Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Eksekusinya mulai tahun 2020.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag) Balikpapan Shaleh menilai rencana itu rawan menyulitkan pasangan yang hendak menikah. Apalagi dikatakan, mereka yang tidak mengikuti program pembekalan pranikah ini tidak boleh menikah. Jauh sebelum muncul gagasan tersebut, dirinya mengungkapkan, Kemenag telah lebih dulu menggelar pembekalan pranikah selama dua hari.

“Wacana sertifikasi nikah PMK pihak Kementerian Agama Balikpapan baru dengar dari media sosial. Seperti apa prosedur maupun konsepnya kami belum tahu. Kalau bimbingan dan konseling itu sudah kami lakukan. Bahkan yang ikut pembimbingan dua hari juga dapat sertifikat,” bebernya.

Di Balikpapan pembekalan bimbingan tersebut sudah dilakukan sejak 2018. Tahun ini saja sudah ada delapan grup/angkatan yang mengikutinya. Sesuai ketentuan, tiap angkatan minimal diikuti 25 pasangan yang hendak menikah.

Bimbingan ini berbeda dengan konseling atau penyuluhan pranikah yang sudah dijalankan Kantor Urusan Agama (KUA). Bila bimbingan dilakukan langsung oleh Kemenag selama 16 jam, dibagi dua 8 jam per harinya, penyuluhan di KUA hanya berlangsung selama 2-3 jam.

Ketika mengikuti bimbingan pranikah, calon pengantin mendapatkan berbagai ilmu terkait hubungan suami istri, mendidik anak, dan mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak hanya dari aspek psikologi dan sisi kesehatan, Kemenag juga mengundang pemateri yang sesuai dengan bidang tersebut, dengan berkoordinasi dengan pihak Dinas Kesehatan Kota (DKK) Balikpapan. Dalam bimbingan itu juga disampaikan mengenai ketentuan pernikahan menurut agama dan menurut pemerintah.

Selain sosialisasi, diskusi dan berbagi informasi dari psikologi maupun para dokter yang kompeten, agar tidak membosankan selama mengikuti masa bimbingan itu diadakan kuis dan permainan edukasi yang menghibur agar suasana tidak tegang. Bimbingan pernikahan yang diadakan Kemenag pun tidak dipungut biaya atau gratis.

“Bila merasa kesulitan mendapatkan izin dari pihak perusahaan tempat bekerja, kami (Kemenag) akan membuatkan surat panggilan, dan itu sesuai perintah negara. Maka bila ada perusahaan yang melarang atau tidak mengizinkan silakan melapor. Berarti ‘kan mereka menentang peraturan negara,” jelas Shaleh.

Lewat kegiatan ini diharapkan calon pengantin atau catin siap lahir batin sebelum hari pernikahan. Program itu bertujuan menekan angka perceraian. Apalagi menurut Shaleh, jumlah perceraian dan pernikahan saat ini hampir sama. Meski tidak menyebut jumlah pastinya, namun dalam setahun ada 5.000 orang yang melangsungkan pernikahan, begitu pula dengan angka perceraian yang terus meningkat.

“Yang dua hari saja banyak yang keberatan, karena alasan pekerjaan, apalagi kalau sampai tiga bulan. Yang kita takutkan begini, nanti masyarakat merasa kok izin pernikahan dipersulit. Mereka lalu jalan pintas, memilih nikah siri. Akhirnya pernikahannya di luar ketentuan negara, tanpa peraturan yang jelas,” ungkapnya.

Tapi diakui, tidak semua daerah bisa melaksanakan bimbingan. Shaleh pun memberikan contoh, di Kutai Barat (Kubar) dalam sebulan belum tentu ada pasangan yang menikah. Padahal sesuai ketentuan, bimbingan baru bisa dilakukan bila diikuti 25 pasangan. Bimbingan yang diadakan Kemenag itu baru ada di Balikpapan, Samarinda, Kukar, Penajam Paser Utara (PPU).

“Karenakan berkaitan dengan anggaran. Tahun ini saja kementerian menganggarkan kurang lebih sekitar Rp 100 juta untuk 500 pasangan. Jadwal bimbingan juga tidak menentu tergantung pusat lagi, jadi di luar 500 pasangan itu mereka hanya ikut penyuluhan di KUA,” jelas Shaleh. "Kalau bimbingan khusus bagi pasangan yang belum pernah menikah," timpalnya.

Maka dia pun berharap agar pemerintah dapat kembali mengkaji kembali kebijakan sertifikasi pernikahan versi PMK, apakah bisa diterapkan atau tidak. “Harus dikaji secara matang. Baik dari segi prosedur maupun substansi. Kami sebagai pihak pelaksana di daerah juga tentu mesti melihat dulu seperti apa konsepnya sebelum benar-benar diterapkan,” tutupnya. (lil/ms/k18)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X