Gerah di Jogja Imbas Badai, Bukan Merapi

- Selasa, 19 November 2019 | 11:02 WIB

JOGJA- Kepala Stasiun Klimatologi (Staklim) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jogjakarta Reni Kraningtyas menegaskan, erupsi Gunung Merapi tak berdampak pada suhu udara di Jogjakarta. Hal ini terkait adanya anggapan warga yang mengaitkan dua hal tersebut. Ada pula anggapan gangguan cuaca akibat aktivitas Merapi.

Penyebab gangguan cuaca, lanjutnya, adalah badai di kawasan utara Indonesia. Citra satelit Staklim BMKG mencatat adanya badai Kalmegi di sekitar perairan Filipina. Ada pula badai Fengshen di wilayah Laut Cina Selatan.

"Dua badai ini menyebabkan massa uap air di perairan Indonesia banyak bergerak ke arah badai tersebut. Imbasnya curah hujan di kawasan Indonesia masih minim dalam beberapa waktu ke depan dan suhu udara sedikit meningkat," jelasnya Senin (18/11).

Reni menjamin dampak badai tak berlangsung lama. Terlebih, arah mata badai terus menjauhi kawasan utara Indonesia. Jangka waktu hingga dua hari kedepan pergerakan badai mengarah barat laut Indonesia.

"Kalau dampak tidak terlalu signifikan seperti (badai) Tropis Cempaka kala lalu. Minimal dua hari ke depan sudah menjauhi khatulistiwa. Saat ini tercatat pergerakan sudah ke arah barat laut," ujarnya.

Terkait suhu udara di Jogjakarta, sejatinya relatif normal. Berdasarkan catatan Staklim BMKG, suhu udara siang hari kisaran 31 hingga 32 derajat Celcius. Sementara suhu udara pada malam hari mencapai 24 hingga 25 derajat celcius.

Walau begitu, Reni tak menampik adanya nuansa gerah. Sumuk. Penyebabnya utama karena tingkat kelembaban tinggi. Akibatnya, kandungan uap air di udara tercatat cukup tinggi.

Rata-rata sehari tingkat kelembaban udara (RH) minimum mencapai 60 hingga 65 persen. Batas maksimum mencapai 80 hingga 85 persen. Kondisi ini menunjukkan adanya proses penguapan yang tinggi. Berimbas pada pembentukan kumpulan awan.

"Dengan adanya uap air diudara hingga tutupan awan ini maka radiasi balik bumi ke atmosfer tertahan oleh uap air dan awan. Sehingga radiasi tersebut tidak bisa keluar bebas ke angkasa tetapi diserap dan dipantulkan kembali ke bumi. Alhasil suhu udara di bumi terasa lebih panas dan gerah," katanya.

Nuansa gerah juga menjadi pertanda datangnya penghujan. Berupa awalan memasuki masa transisi dari musim kemarau. Masa peralihan ditandai dengan pembentukan awan hujan di beberapa tempat.

Di satu sisi, masa transisi tidak dibarengi hujan secara merata. Kemunculan hujan, lanjutnya, terjadi di wilayah dengan topografi datarang tinggi. Dominasi kemunculan hujan terjadi di kawasan Sleman sisi utara dan kawasan Kulonprogo.

"Pertumbuhan hujan sudah mulai muncul dibeberapa tempat meskipun belum merata. Hujan umumnya bersifat lokal. Hingga memasuki dasarian 2 November ini memang hujan yg muncul belum begitu besar atau masih kategori rendah," ujarnya.

Selain badai, ada catatan lainnya. Yakni, mundurnya musim penghujan merupakan imbas belum kuatnya angin Monsoon Asia. Angin baratan ini identik dengan angin pembawa kandungan air.

Reni menuturkan, keberadaan angin Moonson di wilayah Jogjakarta belum terlalu mendominasi. "Angin itu (Moonson) belum kuat keberadaannya di Jogjakarta. Kalau prediksi kami, hujan mulai merata saat dasarian 3 November. Kalau prediksi puncak musim penghujan di Januari hingga Februari 2020," jelasnya.

Antisipasi musim penghujan telah dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIJ. Imbauan berupa pengecekan dan membersihkan saluran drainase telah disampaikan. Hingga imbauan pemangkasan cabang-cabang pohon tua dan besar.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puncak Arus Balik Sudah Terlewati

Selasa, 16 April 2024 | 13:10 WIB

Temui JK, Pendeta Gilbert Meminta Maaf

Selasa, 16 April 2024 | 10:35 WIB

Berlibur di Pantai, Waspada Gelombang Alun

Senin, 15 April 2024 | 12:40 WIB
X