Balasan Indah untuk Pembuat Keramaian

- Kamis, 14 November 2019 | 12:07 WIB

Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) ramai sekali kemarin (13/11). Orang-orang berdatangan sejak pagi. Kompleks nyantrik di Bantul yang biasanya penuh dengan keceriaan itu terasa sendu. Semakin lengkap dengan adanya ratusan karangan bunga dukacita yang berjajar dari jalan utama hingga lorong menuju kompleks PSBK.

Kawah candradimuka para seniman muda itu sedang berduka. Salah seorang pengasuhnya berpulang. Seniman Djaduk Ferianto menghadap Sang Pencipta setelah terkena serangan jantung pagi kemarin. Tepatnya pukul 02.30 di kediamannya, Padukuhan Kembaran, RT 05, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Dia berpulang pada usia 56 tahun, meninggalkan seorang istri, Bernadette Ratna Ika Sari (Petra), dan lima anak.

Keponakan Djaduk yang merupakan putra kedua seniman Butet Kartaredjasa, Suci Senanti, menceritakan kronologi sebelum Djaduk meninggal. Saat itu bungsu tujuh bersaudara putra begawan seni Bagong Kussudiardja itu pulang dari rumah Aji Wartono, kru boarding of creative Ngayogjazz, sekitar pukul 01.00. Sejam kemudian, Djaduk membangunkan istrinya. Dia mengatakan kesemutan di bagian dada. ’’Aku gringgingen, aku gringgingen,’’ katanya sambil memegang dada.

Petra panik dan menghubungi kakak Djaduk, Elia Gupita. ’’Ibu Ita datang itu, Pak Djaduk udah nggak ada respons. Lalu baru menghubungi ambulans,’’ ungkapnya.

Selang setengah jam, ambulans datang dan dilakukan pemeriksaan. ’’Ketika cek tensi, ternyata sudah meninggal. Tanda-tandanya, pupil sudah membesar dan lebam di bagian punggung,’’ jelas Suci.

Putra sulung Elia Gupita, Puti Lokita, menambahkan, selama ini Djaduk diketahui memiliki riwayat diabetes dan asam lambung. Semangat dan kecintaan pada seni kerap membuat Djaduk melupakan kondisi kesehatan. Lelah tak dirasakannya selama bisa berkesenian.

Sebuah misa pemberkatan menjadi waktu pamit bagi Djaduk. Ribuan orang mengikuti ibadah dengan khidmat di PSBK. Rombongan peziarah yang tak kebagian tempat menunggu di sisi luar bangunan utama. Semua larut dalam kesedihan yang sama.

’’Biasanya Mas Djaduk membuat keramaian untuk orang lain. Kali ini beliau mendapat balasannya. Orang lain beramai-ramai mengantar Mas Djaduk menuju peristirahatan terakhirnya,’’ kata Romo Gregorius Budi Subanar mengawali misa.

Bagi dia, Djaduk telah memegang prinsip hidup dengan baik. Termasuk mewujudkan falsafah hidup orang Jawa. Mati sajroning urip lan urip sajroning pati. Maknanya, benar-benar memanfaatkan hidup untuk berbuat baik dan positif.

Pengalaman hidup tak hanya bermanfaat bagi Djaduk pribadi. Romo Banar, sapaan Gregorius Budi Subanar, melihat Djaduk sangat memperhatikan keindahan hidup secara luas. Bagaimana dia peduli terhadap orang lain. Lalu mengajak untuk mewarnai kehidupan dengan indah.

’’Hari ini saya juga mempersiapkan diri secara khusus. Memilih baju baru, stola baru, dan tidak membawakan misa dengan kesedihan sesuai pesanan istri beliau (Bernadette Ratna Ika Sari). Semuanya untuk mengantar Mas Djaduk,’’ ujarnya.

Sang kakak, Butet Kartaredjasa, tak bisa menyembunyikan kesedihan. Dia berkisah, dirinya mendapatkan kabar kondisi Djaduk yang drop sekitar pukul 02.00 dini hari. Keluhan kesemutan itu sebetulnya bukan yang pertama. Hanya, kali ini tingkat kesakitannya disebut tidak biasa sehingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. ’’Djaduk mendapat serangan jantung dan akhirnya meninggal di pangkuan istrinya,’’ ungkapnya.

Butet tak mengetahui penyebab serangan jantung kali ini. Hanya, dia menuturkan, jadwal kegiatan adiknya sangat padat. Apalagi, beberapa hari ke depan, tepatnya Sabtu (16/11), ada perhelatan Ngayogjazz 2019.

Dia mengungkapkan, kesibukan adalah hal biasa bagi adiknya. Festival demi festival menjadi rutinitas harian. Selesai mengisi satu acara, segera beranjak ke festival musik yang lain. ’’Dia (Djaduk) memang dikenal pekerja keras, penuh disiplin. Menyiapkan segala sesuatunya secara perfeksionis sehingga saya bisa memahami dari setiap persiapan yang menyedot energi. Konsentrasi yang berlebih dosisnya. Dan itulah Djaduk,’’ kisah Butet.

Festival demi festival bukan ucapan semata. Desember mendatang, Djaduk memiliki gawe yang tak kalah besar. Teater Gandrik akan tampil dalam pertunjukan dua hari, 6-7 Desember di Surabaya. Djaduk, lanjut Butet, sudah didapuk menjadi sutradara lakon berjudul Para Pensiunan tersebut. Sementara itu, Butet tampil di panggung. Begitulah kolaborasi yang biasa mereka lakukan.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puncak Arus Balik Sudah Terlewati

Selasa, 16 April 2024 | 13:10 WIB

Temui JK, Pendeta Gilbert Meminta Maaf

Selasa, 16 April 2024 | 10:35 WIB

Berlibur di Pantai, Waspada Gelombang Alun

Senin, 15 April 2024 | 12:40 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Minggu, 14 April 2024 | 07:12 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Sabtu, 13 April 2024 | 15:55 WIB
X