Cerita Atlet Renang Difabel Laura Aurelia Dinda Sekar Devanti

- Rabu, 13 November 2019 | 12:25 WIB

Menjadi peraih emas di ajang ASEAN Para Games 2017 mengubah hidup atlet renang Laura Aurelia Dinda Sekar Devanti. Bendera Indonesia dikibarkannya di level internasional. Membantunya mengembalikan semangat dan rasa percaya diri yang sempat luluh lantak.

 

Tyasefania F., Jogjakarta, Jawa Pos

 

Rambutnya panjang berwarna cokelat. Pipinya disapu perona dengan warna yang pas hingga membuatnya terlihat segar. Selama sesi mengobrol di salah satu kafe daerah Universitas Gadjah Mada Jogjakarta itu, kakinya disilangkan dengan santai. Secara fisik semua utuh. Tidak tampak ada yang kurang. Baru ketahuan ketika dia membutuhkan mobilisasi. Laura harus memakai kursi roda.

Kejadian terpeleset di kamar mandi pada pertengahan 2015 membuat Laura lumpuh seumur hidup. Tindakan operasi dan fisioterapi yang dilakoni tidak mampu mengembalikan fungsi kakinya.

Tidak mudah menerima kenyataan divonis cacat. Bukan cuma sakit fisik, lebih berat lagi urusan psikis. Menyandang status difabel, menurut Laura, adalah pukulan berat. Gadis 20 tahun itu menutup diri penuh, tidak mau kondisinya dilihat publik. Jalan-jalan ke pusat perbelanjaan saja malunya setengah mati. Dia bahkan pernah berniat bunuh diri. ”Saya dulu orang yang aktif, atlet, dan sekarang nggak bisa ke mana-mana,” katanya.

Untung, hal tersebut tak berlangsung terus-menerus. Perlahan, dengan dukungan keluarga, pelatih, dan teman-teman, Laura mulai menerima kondisinya. Tidak mudah. Prosesnya sangat berliku. Laura mengakui itu. ”Mereka mau membantu saya. Tapi, kalau saya nggak membantu diri saya sendiri, kan sama saja itu nggak berguna. Punya hidup, tapi membiarkan hidup sia-sia,” tuturnya.

Di tengah perjuangan melawan depresi, alumnus SMA Negeri 1 Solo tersebut mencatat prestasi. Tidak tanggung-tanggung, Laura merupakan penyumbang medali emas pertama bagi Indonesia di ajang ASEAN Para Games 2017 dari cabor renang.

Dua emas yang dibawa pulang dari Malaysia itu mengubah jalan hidupnya. Rutinitas Laura mulai berwarna. Tak melulu latihan, latihan, dan latihan. Berbagai panggilan untuk menjadi motivator berdatangan. Laura sempat berpikir, ini aneh.

Dia sendiri sedang berjuang melawan depresi, kok malah diminta memberikan motivasi. Namun, ternyata berbicara di hadapan publik mampu menjadi terapi baginya. Dia berani menceritakan fase terburuk dan usahanya untuk mendapatkan stabilitas emosi seperti sekarang.

Dari banyak undangan yang datang, Laura ternyata lebih senang menghadiri acara yang dia nggak dibayar. Sebab, kalau yang mendapat honor, biasanya dia diberi poin-poin tentang yang harus dibicarakan. Sementara di acara yang gratisan dia bisa lebih bebas. ”Aku suka menjawab pertanyaan soal bagaimana cara aku menerima diriku dengan kondisi ini,” jelas Laura.

Bertemu dengan banyak orang, saling berbagi pengalaman hidup, membuat Laura semakin menemukan ketenangan. Berkuliah di Fakultas Psikologi UGM ikut membantunya mengatasi masalah kesehatan mental. Setidaknya dia tidak lagi mengurung diri hanya untuk meratapi keadaan, menyalahkan Tuhan, dan merasa kecil hati.

”Sudah pernah lolos jurusan kedokteran, tapi pengin menggali psikologi lebih dalam. Ketika kita bisa memahami diri sendiri, orang lain pasti bisa memahami kita. Lalu juga belajar untuk menyampaikan isi pikiran dengan cara yang baik,” papar anak satu-satunya pasangan David Haliyanto dan Ni Wayan Luh Mahendra itu.

Tidak mudah bagi orang yang aktif seperti Laura menerima keadaannya. Apalagi, motivasi utamanya adalah berprestasi sebagai atlet renang supaya bisa lolos jalur khusus masuk universitas yang dinamai PBOS (penelusuran bakat olahraga dan seni). Apa yang diperjuangkannya sejak usia 7 tahun tersebut sirna seketika saat insiden buruk itu terjadi meski pada akhirnya dia tetap lolos seleksi lewat jalur tersebut dengan prestasi difabelnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X