PERDEBATAN sengit terjadi setelah Menhan Prabowo Subianto memaparkan konsep pertahanan di depan komisi I. Itu berawal dari anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon yang menginterupsi Prabowo karena tidak menyinggung perincian penggunaan anggaran Kemenhan.
Effendi mengatakan, anggaran Kemenhan Rp 131,2 triliun harus disampaikan secara terbuka. ”Tolong kepada Menhan dijelaskan urgensinya. Mengapa kesannya kok seperti disembunyikan,” kata Effendi.
Adian Napitupulu, anggota komisi I lainnya, juga meminta Prabowo menyampaikan secara terbuka penggunaan anggaran. Sebab, perincian anggaran tersebut juga sudah disampaikan secara tertulis ke anggota DPR. ”Jadi lucu kalau tidak disampaikan terbuka,” ujarnya.
Mendengar desakan DPR, nada bicara Prabowo seperti meninggi. Dia bersikukuh agar pembahasan anggaran Kemenhan dilakukan secara tertutup. Dia ingin berhati-hati dalam menyampaikan kebijakan pertahanan dan keamanan. ”Meski ditekan DPR pun, saya tidak mau terbuka. Saya akan menyampaikan ke DPR, tapi jangan terbuka,” tegas Prabowo.
Melihat perdebatan panjang, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid lantas menengahi. Dia setuju agar rapat berikutnya dilakukan secara tertutup.
Dalam rapat juga disinggung soal pengadaan dan pemeliharaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Saat ini alutsista TNI dinilai masih jauh dari kekuatan minimum atau minimum essential force (MEF). Apalagi menuju ideal essential force (IEF). Dengan demikian, pengadaan alutsista harus dilakukan secara bertahap.
Juru Bicara Menhan Dahnil Anzar Simanjuntak menyampaikan, pihaknya akan berupaya maksimal mengandalkan peran industri pertahanan dalam negeri. PT Pindad, misalnya. Dalam pengadaan peluru, PT Pindad masih mampu menyiapkan 200 juta peluru per tahun. Padahal, kebutuhan dalam negeri mencapai 600 juta butir peluru per tahun. ”Untuk saat ini, sebisa mungkin kita andalkan produksi lokal dulu,” tutur Dahnil. (mar/c10/fat)