Perang Dagang Tekan Pertumbuhan, Iklim Bisnis Terdampak

- Rabu, 6 November 2019 | 14:03 WIB

JAKARTA– Ketidakpastian global memukul perekonomian negara-negara di dunia. Tidak terkecuali Indonesia. Hal itu tecermin dari capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III yang hanya 5,02 persen secara tahunan, sedangkan secara kuartal tumbuh 3,06 persen dan secara kumulatif tumbuh 5,04 persen.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menuturkan, perlambatan tersebut tidak terlepas dari kondisi ekonomi global. ’’Saya kira pertumbuhan 5,02 persen ini, meskipun memang melambat, tidak terlalu curam dibandingkan negara-negara lainnya,’’ ujarnya di kantor BPS, Jakarta, kemarin (5/11).

Dia lantas membandingkan kondisi perekonomian RI dengan negara-negara mitra dagang. Pertumbuhan Tiongkok melambat dari 6,5 persen pada triwulan III 2018 menjadi 6 persen pada triwulan III 2019. Amerika Serikat (AS) yang merupakan mitra ekspor Indonesia juga mencatat perlambatan, yakni dari 3,1 persen pada triwulan III 2018 menjadi 2,0 persen pada triwulan III tahun ini.

Singapura malah lebih ekstrem. Perekonomian negara tersebut melambat dari 2,6 persen pada triwulan III 2018 menjadi 0,1 persen saja pada triwulan III 2019. ’’Ini menunjukkan bahwa ketidakpastian ekonomi global membawa dampak pelemahan di negara maju maupun negara berkembang,’’ ungkap Suhariyanto.

Beberapa peristiwa juga terus menjadi pemicu perlambatan ekonomi global. Selain perang dagang antara AS dan Tiongkok, harga komoditas masih fluktuatif dengan tren penurunan secara quarter-to-quarter (Q-to-Q) maupun year-on-year (YoY). Misalnya, Indonesia crude price (ICP) pada kuartal III 2018 di level USD 71,64 per barel menjadi USD 59,81 per barel pada triwulan III 2019. ’’Artinya, rata-rata harga minyak ICP turun 16,5 persen secara year-on-year,’’ papar Suhariyanto.

Penurunan realisasi belanja pemerintah pusat juga menjadi catatan. Pada triwulan III tahun ini, realisasi belanja pemerintah mencapai 22,75 persen dari pagu anggaran. Turun jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun lalu, yakni 25,59 persen dari pagu 2018.

Dilihat lebih dalam, lanjut Suhariyanto, penurunan realisasi belanja pemerintah tersebut terjadi karena penurunan realisasi belanja pemerintah pusat. Di antaranya, penurunan belanja barang dan jasa, belanja modal, serta belanja bantuan sosial.

Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan didukung konsumsi rumah tangga (5,01 persen); konsumsi lembaga nonprofit rumah tangga/LNPRT (7,44 persen); dan pembentukan modal tetap bruto/PMTB (4,21 persen). Selain itu, konsumsi pemerintah yang tumbuh 0,98 persen; ekspor (0,02 persen); dan impor yang terkontraksi 8,61 persen ikut memberikan kontribusi terhadap perekonomian pada triwulan III 2019.

Kinerja PMTB sedikit menurun atau tumbuh paling buruk sejak 2016 karena pelaku usaha sedang menunggu kepastian adanya pemerintahan baru. Konsumsi pemerintah juga memperlihatkan kinerja menurun jika dibandingkan dengan empat tahun terakhir. Sementara itu, ekspor barang dan jasa belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan karena turunnya permintaan dari negara tujuan ekspor dan kunjungan wisatawan mancanegara.

Direktur Riset CORE (Center of Reforms on Economics) Indonesia Piter Abdullah menuturkan, realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan III sesuai dengan prediksi. Yakni, akan mengalami perlambatan. Perlambatan laju ekonomi tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. ’’Meskipun perlambatannya masih lebih baik daripada prediksi pada umumnya, saya kira tetap menjadi warning buat pemerintah,’’ tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menyebutkan, angka pertumbuhan lebih lambat jika dibandingkan dengan dua kuartal sebelumnya. ’’Kalau pengusaha sih sudah memperkirakan. As predicted kalau kita bilangnya,’’ ujarnya.

Menurut Rosan, pertumbuhan ekonomi tahun ini secara keseluruhan diproyeksikan berada pada level 5,0 persen. Dia juga mengonfirmasi bahwa lesunya pertumbuhan ekonomi berdampak pada iklim bisnis dan ekspansi pengusaha.

Menurut dia, dunia usaha berkorelasi dengan supply and demand. ’’Begitu demand-nya lemah, kita akan ekspansi nggak? Pasti kita akan menahan. Begitu demand-nya tinggi apakah kita akan ekspansi? Gampang kok, itu tentang supply and demand,’’ ujar Rosan. (dee/agf/ken/c5/hep/fal)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB

Di Berau Beli Pertalite Kini Pakai QR Code

Sabtu, 20 April 2024 | 15:45 WIB

Kutai Timur Pasok Pisang Rebus ke Jepang

Sabtu, 20 April 2024 | 15:15 WIB

Pengusaha Kuliner Dilema, Harga Bapok Makin Naik

Sabtu, 20 April 2024 | 15:00 WIB
X