Tren Ketakutan Berekspresi Meningkat

- Selasa, 5 November 2019 | 14:02 WIB

JAKARTA– Penurunan persepsi kebebasan sipil di akhir periode pertama Presien Joko Widodo tidak bisa lagi dianggap remeh. Grafik survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa masyarakat semakin merasa tidak aman untuk berekspresi. Pemerintah dituntut memberi solusi konkret yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa kebebasan sipil benar-benar dilindungi.

Tren dalam tiga kali akhir masa jabatan presiden menunjukkan adanya peningkatan rasa takut masyarakat dalam berekspresi. Masing masing pada Juli 2009, Juli 2014. Dan Mei-Juni 2019. Mulai dari ketakutan berbicara masalah politik, ketakutan atas penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, ikut atau bergabung pada organisasi, hingga takut melaksanakan ajaran agama.

Pengamat politik Jeirry Sumampow pun menyampaikan bahwa saat ini tanda-tanda kemunduran demokrasi sudah tampak. Sadar atau tidak, Jeirry melihat pemerintah sudah membuat masyarakat takut untuk berekpresi. Khususnya menyampaikan kritik. ”Menurut saya kita terancam juga kebebasannya,” ungkap dia kemarin.

Jeirry menyebut, sudah banyak masyarakat menyampaikan suara kritis kemudian dibungkam. ”Di zaman Jokowi, orang bebas bicara iya. Tapi, besok dipanggil,” imbuhnya. Walau tidak diproses hukum, pemanggilan tersebut tetap berpengaruh. UU ITE, lanjut dia, yang paling banyak dipakai untuk membungkam kritik masyarakat.

Menurut Jeirry, orang yang mengkritik lantas dipanggil oleh aparat kebanyakan enggan lagi melakukan hal serupa. ”Kalau orang satu kali dipanggil, besok dia nggak mau kritik lagi,” kata dia. Itu sama saja dengan bentuk intimidasi. ”Syok intimidasi,” imbuhnya. Tentu saja, sambung dia, itu bukan kabar baik bagi demokrasi di tanah air.

Bila melihat grafiknya, persepsi pengekangan kebebasan sipil itu tampak belum menembus 50 persen. Namun, trennya terus meningkat. ’’Kita tidak bisa membandingkannya dengan orde baru, karena pada Orde Baru tidak ada kebebasan sipil,’’ terang Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan. Publik sekarang bisa membahas kebebasan sipil karena berada dalam sistem yang demokratis.

Djayadi menuturkan, kebebasan sipil terkait langsung dnegan dua hal. Yakni, kebijakan pemerintah dan hubungan antarmasyarakat. Dari sisi pemerintah, ada hal-hal yang menurut Djayadibisa dilakukan untuk memulihkan kebebasan sipil. Dimulai dari ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum.

’’Ketika ada tindakan masyarakat, yang membahayakan kehidupan bernegara terhadap masyarakat lain yang berbeda, pemerintah harus hadir di situ,’’ lanjut Doktor Ilmu Politik Ohio University Amerika Serikat itu. pada yang saat bersamaan, pemerintah harus melakukan pendekatan secara persuasif.

Pemerintah juga harus membangun program-program yang memungkinkan publik memiliki kesempatan hidup bersama, berdampingan scara lebih luas. Tentu dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, pemimpin lokal, hingga elemen masyarakat lain. Karena pada dasarnya melindungi kebebasan sipil adalah tugas pemerintah dalam sistem demokrasi.

Sementara itu, Kadivhumas Polri Irjen M Iqbal belum bisa berkomentar terkait hasil survey dari LSI bahwa masyarakat khawatir aktif bicara politik karena bisa melanggar hukum. ”Belum ya,” tuturnya. Namun begitu, memang perlu diakui bahwa survei LSI belum memiliki penjelasan yang detil.

Pengamat Kepolisian Moufty Makarim mengatakan, survei LSI hanya menampilkan data berdasarkan pernyataan dan pertanyaan. Tapi, tidak ada penjelasan alasan ketakutan berkomentar yang berhubungan dengan proses hukum aparat. ”Takutnya karena apa,” paparnya.

Karena itu, belum bisa dipastikan apakah ketakutan itu berhubungan dengan kepolisian atau tidak. Atau, malah berhubungan dengan penegak hukum lainnya. ”Ya, masih perlu penjelasan berbagai alasannya,” terangnya.

Deputi V Kantor Staf Presiden jaleswari Pramodhawardani menuturkan, kebebasan sipil meiliki pagar berupa regulasi. ’’Tidak ada orang yang kebal hukum hari ini,’’ ujarnya saat dikonfirmasi. Menurut dia, kebebasan sipil dimaknai sebagai kebebasan yang tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hukum.

Dani, panggilan Jaleswari, juga mengonfirmasi persoalan hubungan antarmasyarakat yang dimaksud Djayadi. Menurut dia, dalam demokrasi, kekuasaan tidak lagi emmusat pada negara. Kekuasaan itu terdistribusi ke banyak lembaga dan organisasi, juga kelompok kepentingan. Maka, kebebasan berekspresi tidak bisa hanya dilihat memusat pada negara semata. ’’Kita melihat konflik horizontal antara masyarakat secara sosial juga terjadi,’’ tambahnya. (byu/syn/idr)  

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X