Berkunjung ke Desa Tenun Danau Toba, Desa Wisata yang Terkendala Sampah Melimpah

- Selasa, 5 November 2019 | 12:18 WIB

Tantangan daerah wisata di Indonesia begitu beragam. Bisa infrastruktur yang belum memadai. Atau permasalahan sampah menggunung seperti yang dihadapi Desa Tenun Papande, Pulau Sibandang, Danau Toba.

 

DEBORA DANISA SITANGGANG, Tapanuli Utara, Jawa Pos

 

Puluhan wisatawan yang hendak menikmati Festival Babi Danau Toba 1.0 di Muara, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 25–26 Oktober lalu, punya alternatif jujukan. Parhobas alias panitia menyediakan tur berkunjung ke desa tenun. Untuk mencapainya, pengunjung mesti menyeberang dengan menggunakan kapal kecil dari Pelabuhan Muara yang baru dibangun.

Banyak orang yang mengira bahwa di tengah danau terbesar di Indonesia itu hanya ada satu pulau, Samosir. Namun, dari arah Muara, ada pulau kecil lain yang lebih dekat, yakni Sibandang.

Di Pulau Sibandang inilah terletak Desa Papande. Sebagian besar warganya menenun ulos. Dilandasi rasa penasaran, banyak pengunjung yang tertarik dan mendaftar ikut tur singkat itu. Tiketnya terbilang murah, Rp 10 ribu pulang-pergi.

Pukul 10.30, kapal mesin bermuatan sekitar 123 orang berangkat menuju Pulau Sibandang. Jaraknya jauh lebih dekat jika dibandingkan ke Pulau Samosir. Hanya memakan waktu sekitar 20 menit, ditambah waktu sebentar untuk mengisi bahan bakar. Total 30 menit perjalanan kapal itu menuju Desa Papande.

Tidak ada penunjuk apa pun di dermaga yang hanya berupa beton memanjang dengan kondisi agak bocel di sana-sini. Tidak ada gapura sambutan selamat datang. Sampai-sampai, peserta tur tidak ngeh dan harus diworo-woro panitia bahwa mereka sudah sampai di lokasi.

Pemandangan lebih mengejutkan langsung menyapa begitu masuk ke pulau. Di balik semak-semak yang memisahkan daratan dengan air danau, terdapat sepetak besar tanah kosong yang dipenuhi sampah plastik.

Erison Siregar, pemuda asli Pulau Sibandang, menyambut pengunjung di depan salah satu rumah warga. Bukan rumahnya, melainkan rumah seorang nenek yang kerap disapa Opung Boraturi. Opung Boraturi langsung tanggap melihat banyaknya pengunjung dan mulai menyisiri benang tenunannya. ’’Supaya (pewarnanya) cepat kering,’’ jelasnya.

Erison membuka semacam tur mini siang itu. ’’Di desa ini, warga rata-rata menenun. Tadinya kami pakai pewarna sintetis, tetapi sekarang coba dikembangkan pewarna alami,’’ ujarnya. Dialah pemuda yang menggagas penggunaan pewarna alami untuk kain tenun. Meski memang membuat harga kain lebih mahal.

Praktik pewarnaan alami itu berpusat di rumahnya, yang terletak agak masuk ke bagian tengah pulau. Meninggalkan kompleks rumah-rumah panggung di bibir danau, Erison mengajak pengunjung melewati setapak di tengah hutan kecil. Sepanjang jalan setapak itu pun, yang terlihat adalah sampah plastik bercampur tanah, terinjak sepatu orang-orang yang lewat.

’’Sebenarnya ada jalan lain yang memutar kalau mau ke rumah. Tapi, sengaja lewat sini karena lebih dekat dan bisa kelihatan kondisinya seperti ini,’’ ungkapnya.

Siang itu empat perempuan sedang bekerja. Dua orang menenun dan dua lainnya menghani benang. Melilitkan benang pada alat untuk membuat motif benang sebelum ditenun. Meski ditonton banyak orang, tangan mereka terus bekerja dengan cekatan.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puncak Arus Balik Sudah Terlewati

Selasa, 16 April 2024 | 13:10 WIB

Temui JK, Pendeta Gilbert Meminta Maaf

Selasa, 16 April 2024 | 10:35 WIB

Berlibur di Pantai, Waspada Gelombang Alun

Senin, 15 April 2024 | 12:40 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Minggu, 14 April 2024 | 07:12 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Sabtu, 13 April 2024 | 15:55 WIB
X