Antara Influencer, Buzzer, dan Cyber Troops

- Senin, 4 November 2019 | 09:36 WIB

Istilah buzzer terus menjadi perbincangan. Namun, belum banyak yang paham perbedaan antara buzzer, influencer, dan cyber troops. Salah kaprah di dunia maya pun sering terjadi.

 

 

Buzzer secara harfiah bisa dipahami sebagai pendengung. Belum ada definisi jelasnya di Kamus Besar Bahasa Indonesia meskipun sejumlah kata slang seperti kepo dan gebetan sudah masuk. Dengung sendiri diartikan sebagai tiruan bunyi yang bergema. Buzzer menggemakan informasi yang dianggap ”bunyi” agar cakupannya semakin luas.

Mencari buzzer di dunia maya mungkin lebih mudah ketimbang di dunia nyata. Sebagian warganet barangkali bisa membuat list tokoh-tokoh medsos siapa saja yang dianggap buzzer oleh khalayak. Tapi, di dunia nyata, lebih sulit melakukan identifikasi. Siapa bilang mereka mau dikatakan sebagai buzzer?

Kajitow Elkayeni salah satunya. Dia merupakan penulis opini yang cukup aktif di Facebook. Salah satu opini terakhirnya, sebelum halaman Facebook-nya tidak aktif pada Minggu (3/11) siang, adalah soal Projo. Selama dirinya berkiprah sebagai penulis opini, ungkap Kajitow, akunnya pernah beberapa kali nonaktif karena melemparkan kritik kepada pihak-pihak tertentu.

Istilah buzzer, sebut Kajitow, mencuat dan jadi perhatian publik begitu diberitakan Tempo. Di kalangan mereka sendiri, Kajitow mengakui, istilah itu kerap dipakai sekadar untuk bercandaan. ”Dulu ada. Tapi sekadar guyon dan ngejek-ngejek. Kemudian ada framing, istilah buzzer menjadi sangat negatif sehingga influencer pun risi karena disamakan dengan buzzer,” ujarnya Selasa (29/10).

Menurut Kajitow, orang-orang seperti dirinya dan sejumlah penulis opini beken lainnya bukan buzzer. Melainkan influencer. Dua istilah itu dibedakan berdasar cara kerjanya. Influencer bekerja sukarela, menulis isu berdasar opini dan informasi yang mereka dapatkan dari berbagai sumber. Buzzer sebaliknya, menulis sesuai pesanan pihak yang merekrut atau memakai jasa mereka. Namun, buzzer awalnya berkonotasi positif.

Kajitow mengakui, memang ada buzzer yang kemudian menulis materi yang menyerang pihak lawan. Namun, buzzer dan influencer masih berpegang pada fakta. Sedangkan orang-orang di balik akun yang menyebarkan hoaks atau propaganda lebih tepat disebut cyber troops. ”Itu cyber troops mestinya. Ada kelompok lain yang jahat, memang ada. Kerjanya bikin propaganda. Nah, kadang umpan ini dimakan influencer, agak rumit sih,” paparnya.

Kajitow sendiri sebagai influencer bekerja berdasar informasi yang dimiliki dan timing. Dia awalnya menggunakan medsos untuk tulisan yang lebih sastra. Menulis opini sebagai salah satu hobi saja. Kajitow memulai hobi beropini tersebut pada 2012. Dia butuh waktu cukup lama hingga bisa menjadi salah seorang influencer politik yang dikenal saat ini.

Influencer idealnya murni menulis opini. Materi artikel didapat dari berbagai sumber. Pertama adalah data empiris yang dirasakan atau didapatkan langsung oleh influencer tersebut. Kedua, data bisa datang dari sumber tepercaya dalam partai politik atau lembaga yang menjadi sasaran opini mereka. Nah, yang ketiga cukup menarik. ”Ketiga ini ada sedikit bumbu, istilahnya,” jelas Kajitow.

Bumbu itu diracik dari diskusi dengan pihak ketiga yang merupakan bagian dari lembaga yang ditulis. Misalnya, Kajitow pernah menulis opini tentang PDI Perjuangan. Saat mengonfirmasi data ke parpol tersebut, informan internal bisa memberikan masukan. ”Misalnya, Bro, salah ini. Ya saya ralat,” ungkapnya. Jika demikian, memang hasil tulisannya tidak lagi 100 persen opini pribadi seperti idealnya tulisan influencer.

Hasil tulisan influencer itu yang kemudian kerap disebarkan buzzer atau cyber troops. Buzzer, lanjut Kajitow, umumnya berangkat dari influencer. Dia punya follower yang cukup banyak dengan kemampuan menulis yang dianggap baik. Pihak-pihak tertentu kemudian menawarkan apakah influencer itu bersedia membuat konten sesuai pesanan.

Di sinilah, tegas Kajitow, terletak batas antara status buzzer dan influencer yang melekat pada seseorang. Namun, dia menegaskan bahwa menjadi buzzer tidak serta-merta merekrut orang. ”Nggak mungkin kan tiba-tiba, eh kamu kubayar sekian ya. Padahal, dia nggak bisa nulis,” jelas dia. Sebaliknya, hal itu berlaku dalam pembentukan cyber troops.

Cyber troops sengaja direkrut parpol, lembaga, atau tokoh berpengaruh. Tugasnya menyebarkan propaganda atau hoaks. Bentuknya tidak harus artikel atau utas, bisa juga meme cocokologi. ”Cyber troops itu kan mesin, senjata. Kalau perintahnya libas ya libas. Secara habit-nya memang merusak atau melumpuhkan lawan,” terangnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X