LONDON – Keinginan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson terwujud. Selasa lalu (29/10) parlemen meloloskan mosi untuk mengadakan pemilu dini pada 12 Desember. Setiap partai hanya punya lima minggu untuk merebut simpati rakyat.
Dalam sidang Selasa, Partai Konservatif dan Buruh mengajukan pemilu dengan tanggal berbeda. Johnson kembali mengajukan pemilu per tanggal 12 Desember untuk kali keempat. Sementara itu, Ketua Partai Buruh Jeremy Corbyn ingin tanggal tersebut dimajukan 9 Desember.
Sayang, mosi Corbyn kalah dengan hasil 295 banding 315. Sesaat kemudian, mosi Johnson diajukan. Setengah anggota Buruh dan sekutunya, Liberal Democrats dan Scottish National Party (SNP), merajuk. Mereka memilih abstain.
Namun, sikap mereka justru membuat proposal pemilu Johnson menang telak dengan 438 suara dukungan. Suara penolakan tercatat 20 saja. ”Ini akan menjadi pemilu yang berat. Tapi, kami siap berusaha dengan maksimal,” ungkap Johnson seperti dilansir BBC.
Corbyn tak menolak keputusan itu. Meski tanggal yang diajukan berbeda, sebagian besar elite politik Inggris sepertinya setuju bahwa pemilu harus digelar. ”Kami siap mengambil kesempatan untuk mengubah negara ini,” ungkap dia kepada Agence France-Presse.
Politisi di Istana Westminster bakal supersibuk sepekan ke depan. Mereka harus menyelesaikan Undang-Undang Pemilu Dini sebelum parlemen dibubarkan Rabu pekan depan (6/10). Belum lagi pemilihan ketua majelis rendah yang baru pada Senin (4/10). Sebelumnya, John Bercow menyatakan tak ingin mempertahankan peran wasit di House of Commons.
”Saya jelas tidak setuju dengan pemilu (dini, Red). Tapi, mungkin inilah satu-satunya jalan agar negara bisa bergerak maju,” ungkap Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock.
Pemilu dini yang terjadi kali ini lagi-lagi menembus rekor politik Inggris. Beberapa pekan lalu parlemen memecahkan rekor mengadakan sidang akhir pekan dalam tiga dekade terakhir. Kemudian, pemilu akhir tahun belum pernah dilakukan selama satu abad terakhir. Pemilu Desember terakhir terjadi pada 1923.
Ada alasan kuat mengapa Inggris harus berpikir keras untuk mengadakan pemilu atau sekadar referendum di bulan Desember. Pertama, masyarakat sudah terkena suasana Natal dan ingin fokus bersenang-senang atau beristirahat. Kedua, cuaca musim dingin Inggris jelas bakal jadi penghambat.
Association of Electoral Administrators (AEA) baru saja meminta agar ada aturan untuk menunda penghitungan suara di saat cuaca buruk. Mereka takut disalahkan jika proses rekapitulasi tertunda. Padahal, risiko terjebak di suatu tempat karena badai salju sering terjadi di Inggris.
”Tentu kami ingin hasil cepat. Tapi, keselamatan petugas pemungutan suara juga harus dipertimbangkan,” ungkap Wakil Kepala AEA Laura Lock kepada The Guardian.
Seperti cuaca Inggris, pemenang pemilu susah diprediksi. Paula Surridge, sosiologis politik dari University of Bristol, menilai bahwa kali ini adalah perang mempertahankan konstituen bagi para raksasa. Saat ini pamor Konservatif maupun Buruh sedang menurun.
”Saya kira siapa yang bisa mempertahankan sebagian besar kemenangannya pada (pemilu) 2017 akan membentuk pemerintahan. Namun, Liberal Democrats dan Brexit Party jelas bakal jadi penghalang,” tegasnya. (bil/c10/dos)