Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) telah disahkan sebesar 8,51 persen. Namun, pengusaha di Kaltim tampaknya bakal kesulitan mengikuti ketentuan ini. Sebab kondisi ekonomi di Bumi Etam belum menunjukkan performa baik.
BALIKPAPAN – Jika dipaksakan berjalan, kenaikan UMP tersebut dikhawatirkan menjadi beban pengusaha. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim Slamet Brotosiswoyo mengungkapkan, kalangan pengusaha keberatan. Pasalnya, kondisi ekonomi tiap daerah berbeda. Di Kaltim sendiri ekonomi masih slowdown atau merangkak naik. Berbeda dengan daerah seperti Sulawesi Selatan atau beberapa daerah di Jawa yang pertumbuhan ekonominya lebih stabil.
Penetapan UMP 2018 menjadi kewenangan gubernur dan harus berdasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Slamet menyayangkan, aturan itu terus menjadi acuan. Faktanya, kondisi usaha belakangan ini sangat dinamis.
“Sebagai salah satu anggota dewan pengupahan daerah, kami sudah menyuarakan keberatan ini. Acuan kenaikan UMP berdasarkan inflasi dan pertumbuhan nasional. Kalau berdasarkan kondisi inflasi, di Kaltim kenaikan sekitar 7 persen,” ucapnya.
Acuan tersebut, jika diterapkan di Kaltim, kondisinya tidak akan berimbang dalam penetapan UMP. Bagi pengusaha jelas sangat memberatkan. Bagi pekerja, meski naik, jika kinerja perusahaan tempat mereka bekerja tidak bisa membayar gaji mereka, mau tidak mau langkah pengurangan karyawan menjadi jalan pintas.
Slamet mengatakan, jika jalan pintas itu ditempuh demi menjaga operasional perusahaan, otomatis menambah jumlah pengangguran. “Pemerintah juga yang dibuat pusing,” tuturnya.
Dia menyebut, pengusaha melalui Apindo maupun Kadin, sempat menyarankan kenaikan UMP diatur menggunakan skema klaster. Jadi, tak perlu menjadikan PP 78 sebagai acuan tunggal. “Skema klaster itu menentukan kenaikan UMP berdasarkan keuntungan atau pendapatan mereka dalam satu tahun. Jadi, pendapatan sekian kenaikan UMP menyesuaikan. Kalau sekarang, perusahaan rugi pun tetap wajib menaikkan upah,” keluhnya.
Apindo, disebutnya telah melakukan komunikasi dengan seluruh sektor usaha di Kaltim. Hasilnya, mereka semua keberatan dengan kenaikan upah 8,51 persen ini. Di sektor tambang, misalnya. Kendati harga batu bara sempat merangkak naik pada tahun lalu, namun dia menyebut efeknya belum akan terasa dalam waktu dekat ini.
“Di Kaltim ini, serikat buruhnya mengerti kondisi perusahaan. Daripada mereka tidak bekerja, lebih baik menunggu sampai kondisi baik. Kenaikan tidak perlu tinggi. Kondisi seperti ini, jika tidak bekerja akan lebih memperparah,” beber pengusaha penyuka golf ini.
Perwakilan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Kaltim Bambang Setiono menuturkan, untuk Kaltim kenaikan UMP tak perlu mengikuti nasional. Jika dipaksakan naik terlampau tinggi, banyak perusahaan yang akan melakukan efisiensi secara ekstrem. “Kami sadar banyak perusahaan yang sedang melakukan efisiensi. Naik pun harga barang pasti ikut naik. Sebaiknya kita memikirkan akselerasi pertumbuhan ekonomi," jelasnya. (aji/ndu/k15)