OTT KPK, Bukti Abai terhadap Kualitas

- Senin, 21 Oktober 2019 | 13:18 WIB

BALIKPAPAN-Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah orang di Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) XII menimbulkan keraguan terhadap kualitas proyek-proyek yang pernah atau sedang ditangani BPJN XII di Kaltim. Di antaranya, Jalan Tol Balikpapan-Samarinda, Jembatan Pulau Balang, dan rehabilitasi jalan nasional.

Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Hendriansyah Hamzah menyatakan, modus yang jamak dilakukan dalam korupsi infrastruktur relatif serupa. Yakni mengurangi spesifikasi bahan dan bangunan. Selain itu, sering didapatkan proyek-proyek infrastruktur fiktif.

“Termasuk proyek yang belum selesai tetapi uangnya sudah dicairkan lebih dulu. Belum termasuk fee tertentu untuk jatah preman,” ucap dosen Fakultas Hukum itu kemarin (20/10).

Baginya, OTT KPK itu mengonfirmasi isu yang menyebut bahwa proyek-proyek infrastruktur selalu disertai dengan aktivitas yang berbau korupsi. Pertahanan pemerintah dengan sistem lalu lintas proyek dari hulu ke hilir, kata dia, sudah jebol. “Kasus OTT itu bisa menjadi momentum untuk membuka kemungkinan menyelidiki kasus-kasus serupa di semua proyek infrastruktur di Kaltim,” ujarnya.

Selain itu, dari sisi pengawasan, pemerintah tidak boleh hanya mengandalkan kejaksaan melalui tim pengawalan, pengamanan pemerintahan, dan pembangunan daerah (TP4D). Sebab, TP4D hanya efektif melakukan pengawasan ketaatan pada aspek hukumnya tapi tidak memadai untuk mengawasi aspek konstruksinya. “Untuk itu, pemerintah seharusnya menggandeng lembaga yang memiliki kemampuan analisis konstruksi yang memadai,” ujarnya.

Mengingat tingkat kerawanan korupsi, kata dia, pemerintah tidak boleh hanya mengedepankan investasi dan pembiayaan infrastruktur semata, tetapi abai dalam pengawasan. Untuk itu, diperlukan kebijakan yang lebih terukur untuk meminimalisasi tindak pidana korupsi,

“Buat list daftar hitam perusahaan atau kontraktor bermasalah, penguatan transparansi anggaran, pengetatan sistem pengawasan, hingga model partisipasi publik yang lebih terbuka,” ungkapnya.

Sementara itu, pengamat konstruksi Kaltim Slamet Suhariadi menyebut jika kasus OTT menjadi bukti, meski sistem lelang yang dilakukan sudah transparan dan terbuka, namun dikotori oleh ulah oknum penyedia dan pengguna jasa. “Ini kan kebiasaan yang seharusnya sudah dihilangkan dengan sistem yang ada saat ini,” ucapnya.

Baginya ini tinggal komitmen kedua pihak agar saling menjaga diri agar tidak terjatuh ke dalam praktik korupsi. Apalagi dengan sistem lelang secara online, sudah banyak benteng yang dibangun agar tidak terjadi praktik persekongkolan. Sayang, itu hanya berlaku pada penyedia jasa alias kontraktor. “Ini kan lelang terbuka. Semua bisa ikut. Jadi peluangnya untuk bersekongkol sangat kecil,” kata dia

Kini perusahaan yang mengikuti lelang tak hanya bisa mengandalkan pengajuan penawaran yang terendah. Sebab,  bisa jadi, penawaran rendah tapi tidak dibarengi dengan syarat lain yang bisa meloloskan perusahaan tersebut. “Yang menentukan itu Pokja ULP (Unit Layanan Pengadaan). Tak ada sangkut paut dengan pengguna jasa,” ucapnya.

Kejadian OTT KPK disebutnya terjadi karena ada celah di sektor vertikal. Antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. Peluang itu ada. Ada beberapa pihak dari pengguna jasa. Misal jika BPJN sebagai pengguna jasa, di bawahnya ada satuan kerja (satker). Kemudian di bawahnya ada pejabat pembuat komitmen (PPK) yang tanda tangan kontrak dengan kontraktor. 

“Di bawahnya ada direksi. Pengawas dari PU (Dinas Pekerjaan Umum). Pengawas dari konsultan. Kalau sudah selesai, ada PPHP (panitia pemeriksa hasil pekerjaan). Jadi sebenarnya pengawasan sudah berlapis,” bebernya.

Meski terjadi suap, bukan berarti pekerjaan yang dilakukan kontraktor tidak beres. Pekerjaan di lapangan disebut jarang dimainkan lantaran menjadi bumerang sendiri bagi kontraktor. “Pasti gambling (suap) itu,” ujar ketua Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo) Kaltim itu.

Menurutnya, lelang long segmen yang dilakukan Direktorat Jenderal Bina Marga sudah bagus secara konsep. Satu perusahaan pemenang lelang bertanggung jawab terhadap tiga pekerjaan, baik konstruksi, pemeliharaan maupun rehabilitasi. “Jadi konsepnya sudah bagus,” ucapnya.

Agar tak terjadi lagi, harus dilakukan perubahan pola pikir. Saat ini masih ada pihak yang menganggap pihak pengguna jasa adalah pemberi kerja dan penyedia jasa adalah penerima kerja. Akhirnya si penyedia jasa merasa harus memberikan sesuatu akan mendapatkan pekerjaan dari pengguna jasa. “Padahal posisi keduanya setara. Levelnya sama,” ucapnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X