SAMARINDA – Transportasi menjadi penyumbang emisi terbesar di Kota Tepian. Pemkot harus menerapkan kebijakan untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK). Hasil pembakaran dari mesin kendaraan menimbulkan penyakit pada tubuh manusia.
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda Umar menyatakan kontribusi terbesar emisi GRK berasal dari gas CO2, diikuti gas N2O dan CH4, di mana sektor energi dan transportasi menyumbang sebagian besar persentase.
“Sekitar 88 persen dalam tingkat emisi gas rumah kaca,” ucapnya setelah rapat rencana aksi daerah penurunan emisi gas rumah kaca (RAD GRK) di kantor Bappeda Samarinda.
Kata dia, pihaknya akan menerapkan kebijakan upaya pengurangan GRK. Yaitu penetapan standar penggunaan bahan bakar terbarukan, peningkatan penggunaan peralatan dan mesin-mesin hemat energi.
“Ini bisa diterapkan di berbagai sektor. Baik transportasi, industri, rumah tangga, komersial, umum dan lainnya,” ucapnya.
Sementara itu, Kabid Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) Dinas Perhubungan (Dishub) Samarinda Hari Prabowo menyebut, pihaknya berencana perbaikan siklus lampu lalu lintas sebagai rencana jangka pendek mengurangi GRK. "Itu untuk rencana jangka panjangnya yaitu menumpulkan setiap persimpangan,” tuturnya.
Pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pasalnya, rencana penumpulan akan bersinggungan dengan warga yang tinggal di lokasi tersebut.
Program perbaikan siklus traffic light juga harus dilakukan. Tetapi perlu dilaksanakan pengujian. Mengingat kondisi persimpangan yang sering padat membuat kendaraan akan mengeluarkan emisi gas lebih banyak. Radius tikung persimpangan yang berada di Samarinda dianggapnya masih belum ideal. Ada penyempitan jalan di ruas simpangan.
“Contohnya persimpangan kelurahan Air Putih, maupun di Muara (Jalan Antasari). Idealnya dalam dua kali fase rambu dapat melepas saturation flow antrean kendaraan,” ujarnya. (*/eza/rdh/k18)
