233 Ekonom Ajukan Surat Terbuka, Dorong Jokowi Terbitkan Perppu

- Sabtu, 19 Oktober 2019 | 11:12 WIB

JAKARTA– Dampak pemberlakuan UU KPK nyatanya tak hanya melemahkan lembaga antirasuah itu semata. Keberadaan UU tersebut berpotensi melemahkan iklim investasi dan stabilitas ekonomi di dalam negeri.

Atas dasar itu, ratusan ekonom ramai-ramai mengajukan surat terbuka berupa rekomendasi kepada Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK edisi revisi. Total, hingga kemarin siang, ada 233 ekonom yang menandatangani surat terbuka atas keberatan mereka pada kehadiran UU telah berlaku itu.

Ratusan ekonom Indonesia dari dalam dan yang tengah bertugas di luar negeri itu kompak menilai ekonomi Indonesia dan dunia sedang dalam kondisi sulit, dan akan semakin merana dengan pelemahan penindakan korupsi. Para ekonom itu juga menyertakan naskah akademik setebal 47 halaman yang dijadikan living document berisi aspek-aspek ekonomi yang akan terdampak pemberlakuan UU KPK.

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan Pradityo mengatakan, praktik korupsi berbanding terbalik dengan investasi. Korupsi justru melemahkan kapasitas pemerintah. Dengan berkurangnya penindakan korupsi oleh KPK, maka hal itu akan berdampak pada inefisiensi perekonomian.

‘’Kami mendukung Pak Presiden meneruskan pembangunan, dengan menerbitkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK. Memperkuat KPK mudaratnya lebih kecil dibanding Pak Jokowi meneruskan UU Itu,’’ ujarnya di Jakarta, kemarin (18/10).

Rimawan memerinci, dalam kurun waktu tahun 2001 hingga 2015, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 203,9 triliun, sementara yang dikembalikan kepada negara hanya sekitar Rp 21 triliun saja. Hal itu disebutnya hanya segelintir ironi yang diyakini akan bertambah jika KPK terus dilemahkan. Mereka juga mempertanyakan usulan UU tersebut yang terkesan mengada-ada karena tak melalui Prolegnas dan disahkan hanya dalam hitungan belasan hari saja.

Di tempat yang sama, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, jika UU KPK tetap dilanjutkan maka akan timbul kegaduhan yang menyebabkan pemerintah tidak fokus dalam membangun ekonomi.

Padahal, Indonesia menghadapi PR besar dalam menghadapi perlambatan ekonomi global, bahkan sudah ada beberapa negara yang resesi. ‘’Ini juga akan berdampak pada masuknya investasi ke Indonesia. Fokus pemerintah yang terbelah akan semakin menghambat modal yang masuk ke Indonesia,’’ jelas Piter.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menegaskan, surat terbuka dari para ekonom yang menolak UU KPK tidak didorong oleh agenda politik. Surat tersebut justru merupakan bentuk dukungan ekonom kepada Presiden Joko Widodo dalam menjalankan program pembangunan.

‘’Ekonom pada dasarnya melihat berdasarkan fenomena yang faktual. Jadi, tidak hanya retorika, tetapi bagaimana data-data yang ada dan hal yang terjadi di lapangan,’’ tegasnya.

Berdasarkan hasil telaah literatur yang telah dilakukan, korupsi disebut dapat mengancam pencapaian visi pembangunan nasional karena berdampak buruk terhadap pembangunan infrastruktur, SDM, serta membebani APBN dan menyuburkan praktik aktivitas ilegal (shadow economy).

Selain itu, sejumlah poin krusial lain dari korupsi ialah dapat menghambat dan mengganggu kemudahan investasi, korupsi memperburuk ketimpangan pendapatan, korupsi melemahkan pemerintahan dalam wujud pelemahan kapasitas fiskal dan kapasitas legal. Korupsi pun dinilai menciptakan instabilitas ekonomi makro karena utang eksternal cenderung lebih tinggi daripada penanaman modal asing. Pencapaian tujuh agenda pembangunan dalam RPJMN 2020-2024 terancam akibat korupsi dan lemahnya aspek kelembagaan.

Para ekonom menilai penindakan dan pencegahan korupsi bukan bersifat substitutif, tapi komplementer. Oleh karenanya, pencegahan korupsi oleh KPK tidak akan efektif ketika fungsi penindakan KPK dimarginalisasikan.

Sementara itu, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) akhirnya mencatat UU KPK yang baru dalam lembaran negara. Dengan demikian, UU hasil revisi DPR itu sudah berlaku sesuai jadwal. UU KPK itu tercatat bernomor 19 tahun 2019 dengan lembaran negara nomor 197 dan tambahan lembaran negara (TLN) 6409 tertanggal 17 Oktober 2019.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya sudah mendengar informasi itu. Namun pihaknya mengaku belum mendapatkan dokumen UU KPK yang baru secara resmi. ”Nanti kalau sudah dapat akan kami lihat apa isi UU tersebut dan segera kami bahas untuk memutuskan tindak lanjut berikutnya,” ujarnya, kemarin. (dee/tyo)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puncak Arus Balik Sudah Terlewati

Selasa, 16 April 2024 | 13:10 WIB

Temui JK, Pendeta Gilbert Meminta Maaf

Selasa, 16 April 2024 | 10:35 WIB

Berlibur di Pantai, Waspada Gelombang Alun

Senin, 15 April 2024 | 12:40 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Minggu, 14 April 2024 | 07:12 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Sabtu, 13 April 2024 | 15:55 WIB
X