Sebagian besar masyarakat Kutai Timur menghadapi masalah pencatatan pernikahan. Sebanyak 95.835 warga belum tercatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
SANGATTA-Sesuai Pasal 2 Ayat (2) UU No 1/1974 juncto Pasal 2 PP No 9/1975, mengharuskan pencatatan perkawinan. Pasalnya, pencatatan merupakan bentuk tertib administrasi sebagai negara modern. Tidak hanya administrasi, pencatatan pernikahan menjadi jaminan terpenuhi hak-hak masyarakat sipil di mata hukum.
Kepala Disdukcapil Kutim Januar Harlian Putra Lembang Alam mengatakan, dari 421.616 jiwa total masyarakat se-Kutim, 144.560 warga telah melakukan pernikahan. Namun, yang tercatat hanya 48.725 orang. Sebanyak 95.835 yang belum tercatat.
"Saya yakin tidak sebanyak itu yang belum terdata, mereka hanya belum melapor. Biasanya pindahan dari luar daerah," ujarnya saat diwawancarai di ruang kerjanya kemarin (17/10). Banyak hal yang menjadi faktor tidak tercatat administrasi. Januar menyebut, pernikahan secara agama dan secara adat tidak terdaftar di negara.
Selain itu, orang baru akan mendatangi kantor Capil saat akan mengurus perubahan alamat atau penambahan dan pengurangan anggota keluarga.
"Ternyata masyarakat Kutim sulit membuat akta lahir anaknya, banyak yang nikah siri atau secara adat. Mereka harus isbat, baru mendapat surat resmi. Kadang kalau ada urusan, baru mau perbaikan," ujarnya.
Disdukcapil membuat inovasi, yakni surat pernyataan tanggung jawab mutlak atau “supertajam” sebagai solusi masyarakat mendapatkan akta kelahiran. "Itu sesuai Permendagri Nomor 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran. Itu yang jadi dasar supertajam," ungkapnya.
Lebih lanjut, masyarakat akan diberi kemudahan untuk mengurus akta kelahiran. Sebab, banyak yang membuat pengakuan telah menikah, tapi tidak bisa membuktikan administrasi. "Tujuannya memudahkan mengurus akta meski belum menikah secara negara. Namun, nantinya harus tetap menikah secara resmi," kuncinya. (*/la/dra2/k16)