SAMARINDA – Pertumbuhan ekonomi Kaltim terancam tidak maksimal. Salah satu penyebabnya masih belum adanya kepastian ekonomi global akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Bank Indonesia (BI) mencatat ekonomi Kaltim pada triwulan II 2019 tumbuh sebesar 5,43 persen year on year (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,46 persen (yoy).
Pada triwulan ketiga dan keempat ekonomi Bumi Etam diprediksi tumbuh di kisaran yang lebih rendah. Namun secara menyeluruh pada 2019 BI memprediksi ekonomi Kaltim akan tumbuh 3 persen. Pertumbuhan yang lebih rendah ini dampak dari ketidakpastian ekonomi global saat ini. Harga-harga komoditas utama Kaltim menurun, diiringi dengan resesi global yang terjadi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim Slamet Brotosiswoyo mengatakan, lesunya ekonomi dunia pasti berdampak pada Kaltim. Apalagi untuk sektor migas, batu bara dan sawit. Ini terlihat dari harga batu bara dan kelapa sawit internasional yang cenderung menurun. Sektor-sektor tersebut padahal masih mendominasi ekonomi di Bumi Etam.
Hal itu juga tecermin dari komposisi anggota Apindo Kaltim yang berjumlah 675 pelaku usaha. Dari jumlah itu, 35 persen berasal dari pengusaha kelapa sawit, 10 persen industri migas, dan 20 persen batu bara. Sisanya berasal dari bidang usaha perhotelan, perdagangan dan jasa. “Dengan komposisi 65 persen dari sektor yang terkait dengan kondisi ekonomi global, para pelaku usaha mengaku kesulitan mengembangkan usaha,” jelasnya, Rabu (16/10).
Dampaknya, pertumbuhan ekonomi Kaltim terancam stagnan. Pada triwulan ketiga dan keempat pertumbuhan Kaltim sangat lambat, akibat terdampak kelesuan dan harga komoditas yang menurun. Sehingga jika sektor unggulan jatuh maka sektor lainnya akan terdampak.
Pihaknya berharap penurunan ini dapat ditahan dengan adanya kebijakan terhadap industri turunan. Misalnya, kemudahan bagi industri batu bara membangun smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian biji tambang. Kemudahan untuk membangun industri turunan crude palm oil (CPO) dan sebagainya.
“Hal itu dilakukan untuk menghindari perdagangan internasional yang sedang lesu, agar ekonomi Kaltim tidak terdampak cukup jauh,” ungkapnya.
Beberapa komoditas di Kaltim memang masih sebatas ekspor mentah. Sedangkan nilainya terus mengecil. Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim mencatat, nilai ekspor Kaltim mengalami perlambatan. Secara kumulatif nilai ekspor Bumi Etam periode Januari-Juli 2019 mencapai USD 9,65 miliar atau turun 9,45 persen dibanding periode yang sama pada 2018. “Sehingga wajar jika ekonomi Kaltim akan tumbuh terbatas,” pungkasnya. (ctr/ndu/k18)