Jangan Takut Turun ke Jalan, Perppu KPK Masih Ditunggu

- Kamis, 17 Oktober 2019 | 09:58 WIB

JAKARTA – Larangan demonstrasi menjelang pelantikan presiden dikeluarkan aparat. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan publik juga bakal melakukan aksi di titik selain DPR. Jika demikian, Komnas HAM berharap kekerasan yang terjadi dalam beberapa demo belakangan tidak terulang lagi. 

Beberapa korban berjatuhan selama aksi massa di sejumlah daerah akhir September lalu. Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab menyatakan saat ini instansinya masih melanjutkan pendalaman terkait meninggalnya sejumlah pengunjuk rasa dari kalangan mahasiswa. ”Cukup sudah. Saya nggak berharap lagi ada korban jatuh,” ungkap dia (16/10). 

Kerusuhan yang terjadi di masyarakat, lanjut dia, tidak terlepas dari kegaduhan elit politik. Untuk itu, Amiruddin berharap agar elit-elit politik juga tidak menambah situasi gaduh secara politik yang bisa memancing keresahan masyarakat. ”Masyarakat itu kan memberi reaksi kepada kegaduhan yang dibuat elit,” imbuhnya. 

Amiruddin pun mencontohkan pembuatan. ”Contohnya membuat UU tapi kurang mendengarkan aspirasi masyarakat,” lanjut dia. Seandainya tidak ada kegaduhan, masyarakat pun tidak akan bereaksi. Sehingga tidak ada korban yang berjatuhan dari dari kalangan mahasiswa, masyarakat sipil, maupun aparat. Baik itu yang meninggal dunia maupun luka-luka. 

Di tengah situasi saat ini, Amiruddin berharap elit politik juga turut andil dalam menyelesaikan kasus kematian maupun luka berat akibat demonstrasi. Bukan hanya konsentrasi ke hal-hal politik yang mengabaikan rakyat seperti agenda bagi-bagi jatah kursi di pemerintahan.Dia berharap betul-betul ada titik terang dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut. 

”Hukumnya memang ditangani oleh polisi. Tapi, masalah politik seharusnya elitnya juga memberi perhatian,” pungkas Amiruddin. Kadiv Pembelaan HAM KontraS Arif Nur Fikri pun menyebut demonstrasi saat pelantikan presiden boleh saja dilakukan. ”Karena di UU (Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum) nggak ada soal pelarangan,” imbuhnya. 

Dalam ketentuan, Arif menjelaskan bahwa pendemo hanya memberitahukan kepada aparat keamanan terkait rencana aksi. Bukan meminta izin. ”Kalau memang polisi melarang dasarnya apa,” kata dia. Apabila memang sudah menjadi diskresi, mereka harus menjelaskan diskresi tersebut terkait dengan apa. Bila perlu diskresi itu diuji. Sehingga pendemo mengerti. 

Selain itu, Arif menyampaikan, jika diskresi kepolisian didasarkan pada pelantikan presiden, harusnya demonstrasi di luar Jakarta tetap dibolehkan. Sebab, pelantikan dilaksanakan di Jakarta. ”Itu juga harus bisa dijelaskan alasan diskresinya kenapa. Apa karena pengamanan fokus ke pelantikan presiden,” imbuhnya. 

Apalagi selama ini demonstran yang berlatar belakang mahasiswa tidak pernah menuntut apa pun terkait pelantikan presiden. Mereka turun ke jalan hanya untuk menyuarakan keresahan masyarakat. Sebab, DPR bersama pemerintah dinilai tidak mendengar aspirasi. Khususnya terkait UU KPK dan UU kontroversial lainnya. 

Mereka juga menuntut supaya presiden menerbitkan Perppu KPK. Namun demikian, sampai kemarin belum ada tanda-tdan perppu tersebut bakal keluar. Menurut Arif, keluar atau tidaknya perppu bakal turut memengaruhi penilaian masyarakat kepada presiden. ”Presiden itu mendengar yang mana, publik atau orang-orang parpol itu,” kata dia. 

Perppu merupakan salah satu kewenangan presiden yang mestinya bisa dikeluarkan tanpa mendengar bisikan dari mana pun. ”Jadi, sekaligus menunjukkan ketegasan presiden,” ujarnya. ”Biar kelihatan bahwa kita punya presiden yang tegas,” tambahnya. Dia pun mengerti, perppu hanya bisa keluar setelah UU KPK efektif mulai hari ini (17/10). 

Karena itu, keputusan presiden terkait perppu masih ditunggu. Selama ini, presiden Jokowi berulang menyampaikan bahwa dirinya punya komitmen untuk memperkuat KPK. Saat UU KPK disahkan dan isinya dinilai lebih banyak melemahkan, sikap presiden ditunggu oleh masyarakat. Tentu saja, harapannya presiden segera mengeluarkan perppu. 

Dengan begitu, pasal-pasal dalam UU KPK yang justru ’mematikan’ KPK tidak berlaku. Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menyampaikan bahwa, apabila presiden memang berniat mengeluarkan perppu, waktu yang tepat adalah saat UU itu efektif. ”Presiden keluarkan perpu tepat pada saat UU KPK revisi berlaku,” ujarnya. 

Namun demikian, jika perppu tidak kunjung dikeluarkan oleh Jokowi, dia memastikan perjuangan masyarakat sipil tidak akan surut. Sesuai prosedur, mereka akan menempuh jalur-jalur konstitusional untuk bersama-sama memperjuangkan tegaknya KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang kuat. ”Ada upaya judicial review ke MK,” tegasnya. (deb/syn/)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X