Pernah Pimpin Pasukan Mata-Mata, Bebaskan Ribuan Aktivis Oposisi

- Sabtu, 12 Oktober 2019 | 13:27 WIB

ADDIS ABABA – ''Ini adalah penghargaan yang diberikan untuk Afrika, untuk Ethiopia.'' Pernyataan itu dilontarkan oleh Perdana Menteri (PM) Ethiopia Abiy Ahmed saat mengetahui bahwa dia menjadi pemenang Nobel Perdamaian 2019. Dia mengaku merasa tergetar saat kali pertama mendengar berita tersebut. Pemimpin 43 tahun tersebut berharap bahwa momen ini bisa menginspirasi usaha perdamaian di benua Afrika.

''Saya bisa membayangkan bagaimana para pemimpin Afrika lainnya bakal berfikir bahwa membangun proses perdamaian itu mungkin untuk dilakukan,'' tegasnya seperti dikutip Agence France-Presse. Abiy akan mendapatkan hadiah sebesar SEK 9 juta atau setara dengan Rp 12,9 miliar.

Pemimpin yang biasa dipanggil Abiy itu berhasil mendapatkan penghargaan prestisius tersebut karena usahanya mengakhir konflik antara Ethiopia dan Eritrea. Abiy bukanlah orang baru dalam perang dua negara tersebut. Ketika perang terjadi dan dia belum menjadi PM, Abiy adalah orang yang memimpin pasukan mata-mata untuk mengintai Eritrea.

Perang yang terjadi pada 6 Mei 1998 – 8 Juni 2000 itu memang hanya berlangsung dua tahun. Tapi dampaknya dirasakan selama dua dekade. Pasca perang, dua negara menandatangani kesepakatan damai di Aljazair, tapi itu hanya di atas kertas. Dua negara tetap saling menutup diri.

Tak cukup sampai di situ, pengusiran besar-besaran juga terjadi. Warga Eritrea diminta hengkang dari Ethiopia pun demikian sebaliknya. Tak ada penerbangan yang menghubungkan dua negara. Keluarga yang terpisah harus merana karena tak bisa bersua.

Sebelum perang terjadi, dua negara yang masuk dalam jajaran termiskin di Afrika itu sejatinya saling bergantung satu sama lain. Sebagian besar perdagangan Eritrea adalah dengan Ethiopia. Di lain pihak, Ethiopia bergantung pada pelabuhan dan jalan-jalan di Eritrea untuk perdagangan luar negerinya.

Banyak pihak yang sudah menjembatani perdamaian dua negara, tapi hasilnya nihil. Pada 2007 lalu Eritrea-Ethiopia Boundary Commission (EEBC) alias Komisi Batas Wilyah Eritrea-Ethiopia menetapkan perbatasan dua negara. Eritrea menerima, tapi Ethiopia menolak. Itu karena Ethiopia harus menyerahkan wilayah sengketa, Badme. Pertempuran masih terjadi beberapa kali meski skalanya tidak besar.

Situasi berubah ketika Abiy menjadi PM pada April 2018 lalu. Dua bulan pasca dilantik sebagai pemimpin Ethiopia, dia menyatakan menerima segala yang tertuang dalam kesepakatan damai di Aljazair dan keputusan EEBC. Di bulan Juli, Presiden Eritrea Isaias Afwerki dan Abiy akhirnya mendeklarasikan kesepakatan damai. Pada 18 Juli 2018, Ethiopian Airlines akhirnya terbang ke Eritrea untuk kali pertama setelah 20 tahun.

''Abiy mendapatkan penghargaan karena upayanya dalam mencapai perdamaian dan kerjasama internasional serta khususnya karena inisiatifnya untuk menyelesaikan konflik perbatasan dengan Eritrea,'' bunyi pernyataan Komite Nobel terkait terpilihnya Abiy. Mereka menambahkan bahwa penghargaan tersebut juga merupakan pengakuan terhadap semua pihak yang bekerja untuk perdamaian dan rekonsiliasi di Ethiopia serta wilayah Afrika lainnya. Sebab jika Afwerki tak menyambut ajakan damai Abiy, maka perdamaian dua negara tidak akan terjadi.

Abiy memang dikenal sebagai pemimpin yang cinta damai dan visioner. Di awal jabatannya sebagai PM, dia sudah membuat kebijakan yang tidak biasa. Dia membebaskan ribuan aktivis oposisi dari penjara. Mereka yang sebelumnya mengasingkan diri juga diperbolehkan untuk kembali ke Ethiopia. Abiy juga tak segan meminta maaf atas kebrutalan yang pernah dilakukan oleh pemerintah Ethiopia terhadap oposisi.

Berbagai tindakannya membawa harapan di wilayah regional Afrika yang kerap dilanda kekerasan. Di bawah kepemimpinannya, beberapa perempuan juga menempati posisi penting. Padahal sebelumnya, perempuan terpinggirkan.

''Saya kerap mengatakan bahwa angin harapan bertiup lebih kuat di Afrika. Salah satu alasan itu terjadi adalah karena PM Abiy Ahmed,'' ujar Sekjen PBB Antonio Gutteres.

Gutteres menegaskan bahwa kesepakatan damai dengan Eritrea telah membuka kesempatan bagi wilayah regional Afrika untuk mengecap keamanan dan stabilitas. Kepemimpinan Abiy telah menjadi contoh bagi orang lain di dalam maupun luar Afrika yang ingin menyelesaikan perlawanan di masa lalu dan mengutamakan penduduk.

Bagimanapun juga, jalan Abiy masih panjang. Sebab hubungan Ethiopia dan Eritrea belum mulus sepenuhnya. Beberapa perbatasan dua negara masih ditutup. Kesepakatan perdagangan juga masih minim. Ethiopia juga belum bisa mengakses pelabuhan-pelabuhan Eritrea. Di dalam negeri, konflik antar etnis juga masih terjadi.

''Penghargaan ini seharusnya bisa mendorong dan memotivasinya (Abiy Red) untuk mengatasi tantangan HAM luar biasa yang mengancam apa yang telah dicapai sejauh ini,'' bunyi pernyataan Amnesty International. (sha)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X