Jangan Terlena IKN, Pikirkan Hilirisasi

- Kamis, 10 Oktober 2019 | 13:05 WIB

Bayang-bayang keterpurukan harga batu bara menghantui pertumbuhan ekonomi Kaltim. Pemerintah daerah diharap mampu mencari jalan keluar dari ketergantungan komoditas. Di lain sisi tidak boleh hanya berharap kepada ibu kota negara (IKN).

 

BALIKPAPAN - Memasuki kuartal terakhir tahun ini, harga emas hitam memang masih menunjukkan tren penurunan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, harga batu bara acuan (HBA) pada Oktober berada di posisi USD 64,8 atau setara Rp 907 ribu per ton (kurs Rp 14.000 per dolar). Angka ini merosot 1,5 persen ketimbang September lalu di angka USD 65,79 per ton.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, harga batu bara mulai awal tahun terus merosot. Tak hanya batu bara, crude palm oil (CPO) juga mengikuti. Termasuk harga minyak dunia yang masih fluktuatif. Komoditas itu semuanya menjadi andalan Kaltim. “Bayang-bayang ekonomi turun bisa saja terjadi,” tuturnya, Rabu (9/10).

Ia menjelaskan, Kaltim merupakan potret ekspor Indonesia. Dengan komoditas batu bara menjadi andalan. Posisi sekarang ekspor turun dan harga batu bara anjlok. Potensi perlambatan ekonomi bisa saja muncul tahun ini. “Kaltim harus bergerak cepat. Jangan terus mengandalkan komoditas ekspor. Di mana harga selalu fluktuatif karena kondisi ekonomi global yang masih belum ada kejelasan,” tuturnya.

Apalagi, sambungnya, tujuan ekspor utama Tiongkok sudah mulai tidak mengandalkan batu bara. Tiongkok dan Jepang ke depannya bakal menggunakan energi terbarukan bukan batu bara. Ancaman pasar ekspor sudah mulai menghantui.

Ia menjelaskan, dalam 1-2 tahun ini langkah antisipasi sudah harus dilakukan. Jangan hanya mengandalkan batu bara. Salah satu jalan, kembangkan industri lain, seperti manufaktur. Di Kaltim belum ada. Kemudian, sektor turunan dari komoditas. Nilai jualnya bakal meningkat. “Kalau mengandalkan produk mentah, sangat bergantung pada harga acuan batu bara. Konsumsi dalam negeri paling mentok saat ini masih ke PLN saja,” ungkapnya.

Selain itu, ia mengimbau agar Kaltim tidak berharap besar pada proyek perpindahan ibu kota negara (IKN). Sebab pembangunan IKN masih lama. Lima tahun ke depan mungkin baru terlihat. Dan apakah, pembangunan nanti berdampak pada daerah. “Lihat di Pulau Jawa, pembangunan yang dijalankan apa ada dampak langsung bagi masyarakat?” selorohnya.

Dia menilai, ini dikarenakan sumber daya manusia banyak tidak memakai orang asli daerah pembangunan. Selain itu, komponen pembangunan kebanyakan sudah jadi. Tidak dibuat lokal. Jadi multiplier effect-nya sangat kurang. Bisa jadi, yang terjadi di Kaltim seperti itu juga. Kemudian, hal itu proyek jangka panjang.

 “Yang perlu dipikirkan, bagaimana mencari yang jangka pendek. Kondisi ekonomi global sedang tak menentu. Jangan dianggap sepele, ancaman bagi ekonomi Kaltim tetap ada jika terus mengandalkan SDA tidak terbarukan,” terangnya. Lebih lanjut, ia menuturkan, Kaltim bisa saja menawarkan diri kepada investor. IKN menjadi nilai jual. Mau jualan tentu harus jemput bola.

Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, Kalimantan tidak bisa mengandalkan konsumsi ataupun ekspor. Pulau Borneo sudah terlalu banyak melakukan ekspor SDA di tengah harga komoditas secara global yang tidak bagus. Sehingga ke depan, akan lebih banyak dibutuhkan kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus.

Menurut Bappenas dari rata-rata pertumbuhan PDRB (produk domestik regional bruto) provinsi tahun 2015-2018, pertumbuhan ekonomi di wilayah Kaltim paling rendah dibandingkan daerah lainnya di Kalimantan. Pertumbuhan ekonomi Kaltim jauh di bawah Kalimantan Tengah sebesar 6 persen, Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara pada kisaran 5 persen, dan Kalimantan Selatan di atas 4  persen. Sementara, pertumbuhan ekonomi Kaltim tercatat hanya berada di angka 2 persen.

Kondisi ini memperlihatkan Kaltim sebagai salah satu provinsi penghasil komoditas ekspor batu bata terbesar se-Indonesia masih tergantung pada penghasilan dari ekspor sumber daya alam mentah. Sehingga ketika terjadi krisis ekonomi global sejak 2015, Kaltim belum bisa mencari pengganti pemasukan dari ekspor batu bara dan minyak bumi.

Bambang berpesan, hal ini harus menjadi pertimbangan dari masing-masing kepala daerah untuk mencari alternatif pemasukan daerah dengan menciptakan industri hilir yang mampu menaikkan nilai komoditas yang akan diekspor, sehingga tidak bergantung pada ekonomi global.

Ia mencontohkan wilayah Sulawesi yang menduduki urutan tertinggi dalam indeks pertumbuhan ekonomi dengan angka hingga mencapai 10 persen selama periode 2015-2018. Menurutnya, Sulawesi sudah berhasil menciptakan industri hilir dalam pengelolaan SDA mereka sehingga menjadi produk yang dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi padahal tidak memiliki batu bara dan minyak seperti di Kalimantan.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X