Hakim Non Aktif Ini Akui Minta “Uang Saku” ke Jonson

- Kamis, 10 Oktober 2019 | 11:53 WIB

SAMARINDA–Tiga terdakwa operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan dikonfrontasi di ruang sidang PN Tipikor Samarinda, kemarin (9/10). Mereka adalah Kayat, hakim nonaktif di PN Balikpapan. Kemudian, Sudarman dan Jonson Siburian.

Sidang berlangsung selama tujuh jam. Dimulai pukul 10.30–17.45 Wita. Ketiganya kompak membantah Rp 99 juta yang diterima Kayat, berkelindan dengan perkara pemalsuan surat tanah yang menyeret Sudarman. Jonson Siburian jadi terdakwa pertama yang bersaksi untuk Kayat.

Di depan majelis hakim yang diketuai Agung Sulistiyono bersama Abdul Rahman Karim dan Arwin Kusumanta, Jonson mengaku uang Rp 200 juta yang jadi bukti OTT KPK medio Mei 2019, bukan ongkos komitmen Kayat. Yang telah memvonis bebas Sudarman, Kamaluddin, dan Khairani dari kasus pemalsuan dokumen negara pada Desember 2018.

Bertindak sebagai kuasa hukum terdakwa pada saat itu adalah Jonson Siburian. Kembali ke sidang kemarin. Lanjut Jonson, nominal itu jadi biaya operasionalnya bersama Rosa Isabella selaku kuasa hukum ketiga kliennya sejak kasus diperiksa Polda Kaltim pada 2017 hingga perkara disidangkan di pengadilan tingkat I itu.

 “Sejak awal saya pakai dana pribadi untuk operasional,” tutur Jonson. Dia mengaku memang mengenal baik Sudarman. Tapi pendampingan hukum baru terjadi ketika perkara ini muncul. Selain di persidangan, dalam kasus tanah itu, hanya sekali Jonson bertemu Kayat di luar agenda persidangan. Yakni di ruang kerja Kayat di PN Balikpapan ketika perkara baru bergulir perdana.

Kala itu, Kayat tidak sendiri. Ada tiga hakim lain di ruangan itu. Urusannya menyambangi Kayat itu memang meminta agar perkara ketiga kliennya dipermudah. Tapi, Kayat menolak perbincangan. Jadi, pembahasan yang direncanakannya urung terjadi.

Jonson pun mengaku heran dengan dugaan “tali asih” Rp 800 juta ketika OTT terjadi sebagai ongkos komitmen bebasnya Sudarman. Padahal, pembahasan apapun tidak pernah terjadi. Kayat memang pernah beberapa kali menghubungi Jonson dan Rosa. Meminta bantuan dana. Karena Kayat hendak pindah tugas. Saat itu, Jonson menghubungi Sudarman dan menanyakan bayaran atas bantuan hukum yang diberikannya.

Selain itu, Jonson menyisipkan pernyataan jika Kayat, ketua majelis hakim yang menangani perkaranya hingga bebas itu bakal pindah tugas dan butuh uang saku. “Saya hanya bilang itu loh (Kayat) butuh uang saku mau pindah. Kasih seadanya saja,” tuturnya. Uang Rp 200 juta diberikan Sudarman pada 3 Mei di sebuah warung makan di Kilometer 13, Balikpapan.

Jonson pun meminta Rosa mengantarkan uang tersebut ke Kayat. “Uang memang dari Sudarman. Saya yang inisiatif memberi Rp 99 juta suruh Rosa yang antar. Tapi tidak ada hubungannya dengan kasus tanah itu,” tegasnya. Dua jaksa penuntut umum (JPU) KPK, Arief Suhermanto dan Nur Haris Arhadi memutarkan bukti rekaman percakapan antara Sudarman dan Robert Wilman Napitupulu.

Dalam rekaman itu, Sudarman menerangkan, Darwis dan Verra Lynda Lihawa, anggota majelis hakim, minus Kayat, sudah setuju. Kini dia tinggal mengondisikan Kayat. “Kenapa Sudarman membuat pernyataan itu. Tahu dari mana dia, dua hakim sudah sepakat,” tanya Jaksa KPK Arief. Jonson menegaskan tidak mengetahui dari mana Sudarman mengatakan itu.

Menurut dia, pada 17 Desember 2018, saat sidang pembacaan pledoi ketiga kliennya usai, dia langsung meninggalkan PN Balikpapan karena ada urusan lain. Putusan yang dibacakan pada hari itu pun tidak diikutinya. “Sidangnya digelar pukul 18.00 Wita. Hanya Rosa yang dampingi,” katanya. Ketika Sudarman bersaksi rekaman yang sama kembali diputar.

Dia membenarkan suaranya dalam percakapan itu. Tapi soal mengetahui dua hakim telah setuju untuk memberikan pertimbangan bebas dalam kasus yang menyeretnya hanya bohong belaka. “Saya dongkol, saya beli tahan dari pemilik asli tapi saya yang masuk penjara,” akunya. Apalagi, ketika kasusnya itu bergulir, Robert merupakan rekan dari pelapor kasus pemalsuan tanah itu, Cristian Soetio dan La Bolosi.

Tak pendek akal, JPU KPK kembali memutar rekaman lain, yang diketahui percakapan udara itu terjadi pada 13–14 Desember 2018, sebelum kasusnya diputus PN Balikpapan. Total, ada delapan kali rekaman berbeda hasil penyadapan KPK itu menggema seantero ruang sidang Hatta Ali Pengadilan Tipikor Samarinda.

Selain itu ada enam hasil tangkap layar percakapan dari aplikasi Whatsapp antara Jonson Siburian dan Rosa Isabella. Dari rekaman itu, tidak hanya terdengar percakapan Sudarman dan Robert. Ada pula percakapannya dengan seorang pria yang tidak diketahui identitasnya atau istrinya sendiri. Beberapa kali pula percakapan ihwal dua hakim yang sudah setuju untuk memberinya vonis bebas. Namun, semua disanggahnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X