Dibandingkan empat pemeran dan pengisi suara Joker sebelumnya (Cesar Romero, Jack Nicholson, Mark Hamill, Heath Ledger, dan Jared Leto), tawa Joker yang digaungkan Joaquin Phoenix boleh dibilang yang terdengar paling 'sakit'. Rasanya penonton bisa merasakan siksaan batin yang dialami Arthur Fleck di sepanjang film.
Bahkan banyak penonton yang keluar dari bioskop dengan keadaan merenung, masih belum move on dari kelamnya kehidupan Arthur. Banyak orang yang mengaku relate dengan kondisi Joker. Bahkan sampai muncul ungkapan 'orang jahat adalah orang baik yang tersakiti'. Meskipun ungkapan itu tidak seratus persen benar.
Dibandingkan dengan film-film Joker sebelumnya, Todd Phillips sebagai sutradara memang melakukan pendekatan yang lebih humanis terhadap salah satu musuh besar Batman ini. Tawa Joker yang tidak kenal waktu itu merupakan akibat dari kondisi mental yang dalam dunia nyata disebut Pseudobulbar Affect (PBA). Yakni suatu gangguang emosional di mana ekspresi seseorang benar-benar tidak berhubungan dengan suasana hati mereka sesungguhnya.
Biasanya bermanifestasi dalam tawa yang tidak terkendali, seperti Joker, atau berupa tangisan keras. Gangguan itu merupakan dampak dari kerusakan otak dan disebut berkaitan dengan kemarahan pasca-stroke. Dalam film pun dijelaskan penyebab Arthur mengalami kondisi tersebut.
Ada beberapa hal yang dialami Arthur cocok dengan gejala PBA sesungguhnya. Misalnya ketika episode tawa itu muncul tidak sesuai kondisi. Polanya khas, tawa menjadi semakin keras ke puncak, kemudian perlahan turun. Tawa itu menggambarkan guncangan di dalam dirinya. Namun perlu diingat bahwa sesungguhnya PBA dan stres tidak saling berhubungan.
Air mata dan tawa tidak berkaitan dengan suasana hati seseorang. Itulah mengapa PBA sering salah didiagnosis sebagai depresi, meskipun kedua hal itu dapat terjadi secara bersamaan, seperti yang dialami Arthur. Namun Arthur tampak sedikit lega ketika episode tawanya selesai. Nah, hal itulah yang tidak terjadi pada penderita PBA sesungguhnya. (Screen Rant/adn)