Politik Dinasti Itu Sah Saja, tapi Patut Diwaspadai

- Selasa, 8 Oktober 2019 | 11:21 WIB

BALIKPAPAN – Fenomena satu keluarga menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan legislatif disebut lumrah dalam demokrasi. Pun tak ada masalah dari sisi hukum. Namun, ada hal-hal yang patut diwaspadai publik.

Pengamat politik dan hukum dari Universitas Mulawarman Hendriansyah Hamzah menyebut, publik harus mengetahui terlebih dulu perbedaan antara politik dinasti dengan dinasti politik. “Frasa ini yang harus dipahami dulu,” kata dia, (6/10).

Jelas dia, politik dinasti adalah sebuah tendensi. Upaya seseorang atau kelompok untuk membangun dinasti politik. Melibatkan keluarga atau keturunan dalam jabatan tertentu. Berbeda dengan dinasti politik, yang bisa muncul atau terbangun secara alamiah.

“Mungkin karena ibu, bapak, atau si anak punya kapasitas tertentu untuk menduduki jabatan tersebut,” ucap dia.

Pria yang biasa disapa Castro itu menerangkan, dinasti dibenarkan dalam hukum. Salah satunya dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015.

“Sebab, setiap warga negara punya hak yang sama dalam politik. Untuk memilih atau dipilih,” kata dia.

Namun, ada masalah. Ini berkaitan dengan tolok ukur. Menggunakan logika politik, misalnya untuk kasus di Bontang. Seorang ibu menjadi wali kota dan anaknya menjadi ketua DPRD. Sementara salah satu fungsi legislatif adalah pengawasan.

“Di wilayah politikini adalah problem. Logic tidak, jika si anak mengawasi kinerja ibunya,” sebutnya.

Dalam prosesnya, fungsi yang dilakukan legislatif hanya akan tampak ketika ada persoalan eksekutif muncul ke permukaan. Baik di level pengawasan maupun anggaran. Apakah dewan akan menggunakan hak mereka. Baik angket, interpelasi, maupun menyatakan pendapat.

“Saya menduga-duga, secara historis pengawasan legislatif tak akan berjalan dengan baik,” ujarnya.

Yang dimaksud Castro adalah, ketika Bontang dipimpin Andi Sofyan Hasdam. Saat itu di 2009, saat Sofyan menjalani periode keduanya sebagai wali kota, istrinya, wali kota Bontang saat ini, Neni Moerniaeni, terpilih menjadi ketua DPRD Bontang periode 2009–2014.   

“Apakah saat itu proses pengawasan terhadap pemerintah berjalan dengan baik? Saya rasa tidak,” sebutnya.

Dia menyebut, tak bermaksud menghalangi hasil proses demokrasi. Namun, sejak awal, ada cara yang bisa dilakukan. Yakni Golkar selaku partai pemenang tidak memilih anak Neni Moerniaeni, Andi Faisal Sofyan Hasdam sebagai ketua DPRD.

“Sebab, wajar jika nanti ada pertanyaan publik soal check and balances dalam proses jalannya pemerintahan kota,” katanya.

Meski ketua DPRD hanya menjadi simbol, banyak hal yang bisa membuat publik sanksi terhadap kelangsungan kinerja di legisltatif. Karena itu, dalam unsur DPRD, terutama fraksi lain bisa memegang peranan dalam konflik kepercayaan.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X