Perajin Kapal Tradisional Samarinda, Begini Cara Mereka Menolak Punah

- Senin, 7 Oktober 2019 | 01:21 WIB

Pada usia yang beranjak senja, pria itu masih tampak perkasa dengan mesin bornya, menembus kayu bengkirai setebal 10 centimeter. Maridun (52) sesekali menyeka keringat di dahinya. Ia menguras tenaga, mengencangkan baut yang terpasang dengan kunci sepuluh di tangan kanan, sampai kayu bengkirai itu merekat dengan dinding kapal yang sudah dikerjakannya dari dua bulan lalu.

Di sudut lain, tampak beberapa perajin sedang sibuk dengan alat tukangnya masing-masing. Ada yang memotong kayu, mengamplas, mengecat, ada juga yang sedang memasukkan pasak ke dinding kapal. Beginilah pemandangan di salah satu pusat pembuatan kapal tradisional di tepian Sungai Mahakam, Kelurahan Selili, Kecamatan Sambutan, Samarinda.

Ada yang bekerja berkelompok, tapi tidak sedikit yang bekerja sendirian, seperti Maridun. Ia tengah mengerjakan satu unit kapal ukuran lebar 2,5 meter dan panjang 14 meter pesanan seorang nelayan dari daerah Samboja, Kutai Kartanegara.
Maridun masih semangat membuat kapal demi menafkahi keluarganya. Ia sudah menekuni bidang ini lebih dari dua dasawarsa. Merantau dari kampung halamannya Palopo, awalnya Maridun hanya ikut membantu sebagai tukang. Sampai akhirnya mahir, ia pun menerima pesanan kapal sendiri.

“Orang di sini kerja sendiri-sendiri, kalau saya sudah lama dari sebelum zaman krisis moneter,” ungkap Maridun, Jum'at (4/10/2019).

Bahan pembuatan kapal menggunakan kayu ulin dan bengkirai. Semua bahan didapat dari penjual material di Kota Tepian, namun yang sulit adalah kayu bengkirai ukuran 5x20 cm untuk gading kapal. "Karena banyak yang butuh, kadang harus nunggu sebulan baru bisa dapat," ungkap pria yang memiliki delapan cucu ini.

Semua pembuatan kapal di Samarinda dikerjakan warga sekitar secara perorangan, tanpa ada badan usaha yang mewadahi para perajin. Pemesan datang langsung ke lokasi dan melakukan kesepakatan dengan perajin. Jika mencapai sepakat, pembuatan kapal pun dimulai.

Untuk kapal yang ditarget selesai sebulan lagi ini, Maridun mengaku harga yang disepakati adalah Rp 75 juta dibayar bertahap. Meski nilainya terbilang besar, bagi Maridun itu masih kecil karena modal yang harus dikeluarkan sama besarnya.

-

Rasyid, 57 tahun, perajin lainnya mengungkapkan aktivitas pembuatan kapal tradisional di Selili sudah turun temurun berlangsung dari tahun 70-an. “Dulu waktu pindah ke sini (Selili) sekitar tahun 1972, orang tua saya sudah membuat kapal seperti ini. Waktu masih bujang saya juga sempat bantu-bantu tahun 78-79,” kata dia.

Namun pada awal tahun 80-an Rasyid berhenti membantu orang tuanya, ia bekerja di pabrik plywood di Selili. Sampai akhirnya tahun 2002 tempat Rasyid bekerja bangkrut, ia salah satu yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja).
Sejak itu Rasyid kembali menekuni pembuatan kapal tradisional. Dibantu anak lelakinya, dan dua orang pekerja, ia bisa memproduksi sampai tiga kapal sebulan.

Kapal-kapal tradisional buatan Selili banyak dipesan oleh nelayan dari daerah muara Sungai Mahakam, seperti Sungai Mariam Anggana, Samboja, dan Handil. Memiliki kualitas yang baik, kapal-kapal buatan Selili dapat dipakai sampai 15 tahun. Harga yang dibanderol pun bisa mencapai puluhan juta rupiah. "Kebanyakan yang kita buat itu memang kapal untuk mencari ikan di laut, untuk mukat atau angkut-angkut barang," ungkap Rasyid.

Meski mampu menghasilkan puluhan kapal per tahun, namun jumlah perajin di Selili terus berkurang. “Dulu mungkin ada sampai 20 orang yang bikin kapal, tapi sekarang cuma sekitar 7 orang saja yang bertahan,” ungkap Rasyid.

Penyebabnya adalah para perajin yang sudah meninggal dunia, juga banyak menyebar ke daerah lain. Faktor lainnya juga disebabkan karena tidak ada kesepakatan standar harga antara para perajin kapal tradisional.

Rasyid mengatakan karena semakin sedikitnya pesanan kapal, membuat perajin berani mematok harga rendah, sehingga keuntungan yang didapat semakin sedikit.

Padahal modal yang harus dikeluarkan untuk membuat sebuah kapal semakin mahal. Seperti kayu ulin dan kayu bengkirai yang menjadi bahan utama pembuatan kapal misalnya, harganya kini berada di kisaran Rp 6 juta per kubik.

Belum lagi sewa tempat pembuatan kapal kepada pemilik lahan yang dibayar per unit berdasarkan ukuran kapal. Pemilik lahan memungut biaya sewa mulai dari Rp 900 ribu sampai Rp 3 juta. Hal itu semakin mengurangi keuntungan dari perajin kapal di Selili.

Atas alasan itu satu demi satu perajin berkurang, dan memilih profesi lain yang dinilai lebih menguntungkan. “Semoga pemerintah bisa bantulah bagaimana jalan keluarnya. Kalau tidak pintar-pintar mengatur uang, bisa tidak dapat untung kita kerja bikin kapal ini,” pungkas Rasyid. (selasar/pro)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X