JAKARTA – Tarik ulur Perppu KPK masih terus terjadi jelang berlakunya revisi UU KPK. Sikap presiden benar-benar ditunggu. Apakah akan menerbitkan perppu sesuai kehendak masyarakat, atau patuh pada partai-partai politik pendukung revisi UU KPK yang menginginkan sebaliknya. Sikap presiden juga sekaligus akan memberikan kepastian hukum atas revisi UU KPK.
Saat ini, revisi UU KPK memang sudah disetujui DPR. Namun, belum bisa berlaku karena presiden belum menandatanganinya. Pada 17 Oktober mendatang revisi UU KPK akan tetap berlaku meskipun presiden tidak menekennya.
Direktur Pusat pengkajian Pancasila dan konstitusi (PUSKAPSI) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengingatkan, penting bagi presiden untuk segera mengambil sikap. Sikap presiden diharapkan akan mengakhiri polemik yang ada. Baik dengan menerbitkan perppu ataupun tidak menerbitkannya.
Menurut Bayu, bila presiden memang memutuskan tidak mengeluarkan perppu, sebaiknya UU tersebut segera diteken dan diundangkan. ’’Agar para pihak yang keberatan bisa segera mengajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi,’’ terangnya saat berbincang dengan Jawa Pos kemarin (5/10).
Sebagaimana diketahui, sejumlah pihak sudah mengajukan pengujian terhadap UU KPK yang baru ke MK. Ada dua permohonan yang sudah masuk ke MK. Pertama dari mahasiswa lintas universitas, dan kedua dari para mahasiswa program magister Ilmu hukum Universitas As Syafi’iyah. Dalam gugatannya, kedua pihak pemohon sama-sama mengosongkan bagian nomor UU karena memang belum diundangkan.
Bayu menjelaskan, sebenarnya ada jalan tengah yang bisa diambil presiden untuk menyudahi tarik ulur Perppu KPK. ’’Saya menggagas perppu penangguhan berlakunya revisi UU KPK,’’ lanjutnya. Setelah revisi UU KPK diundangkan, presiden langsung menerbitkan perppu yang menangguhkan pemberlakuannya selama setahun.
Selama masa setahun itu, presiden mengajak DPR untuk membahas lagi. Dalam arti melakukan legislative review atas UU tersebut. Pasal-pasal yang memang ditolak segera dibuang. Sementara, yang memang efektif untuk menguatkan proses pemberantasan korupsi di KPK tetap dipertahankan.
Pembahasannya cukup lewat proses legislasi biasa. ’’Jangan seperti kemarin, terburu-buru, tertutup, tidak partisipatif,’’ tutur akademisi kelahiran Sidoarjo itu. Satu tahun cukup bagi pemerintah dan DPR untuk melibatkan masyarakat dalam membahas revisi UU KPK. Juga tentunya melibatkan KPK sebagai pihak pelaksana UU.
Perppu penangguhan berlakunya UU bukan hal baru di sistem ketatanegaraan Indonesia. Presiden Soeharto pernah menerbitkannya pada 1984 untuk menangguhkan berlakunya UU Pajak pertambahan Nilai (PPN). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkannya dua kali. Untuk menunda berlakunya UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan UU Pengadilan Perikanan.
Dengan menerbitkan perppu penundaan, maka UU 30/2002 tentang KPK akan tetap berlaku. Di situ tuntutan publik akan terpenuhi dan KPK bisa kembali bekerja dengan normal. ’’Sementara DPR tidak kehilangan muka karena presiden tidak membatalkan,’’ jelas pria 37 tahun itu. Selain itu, kewibawaan presiden tetap terjaga.
Perppu penunda menjadi jalan tengah di antara kebuntuan dua tuntutan. Publik meminta perppu itu membatalkan UU, atau setidaknya membatalkan pasal-pasal yang ditolak publik. Sebaliknya, DPR menuntut agar kesepakatan antara pemerintah dan parlemen tidak dibatalkan sepihak oleh presiden. (byu/deb/jpg/dwi/k15)