Orang yang mengalami kelumpuhan punya harapan baru. Kini tengah dikembangkan alat yang dinamai exoskeleton. Alat itu bisa digerakkan lewat perintah otak.
SITI AISYAH, Jawa Pos
PANDANGAN Thibault fokus ke depan. Dia lalu berjalan. Gerakannya lambat dan kaku. Sebuah alat serupa robot menopang kaki, tangan, dan punggungnya. Pelan tapi pasti, pria 28 tahun itu sampai di ujung ruangan.
Thibault tertawa semringah ketika sampai. Bagi dia, hal itu luar biasa. Sebab, sudah empat tahun ini dia terbaring tak berdaya. Bisa kembali berjalan setelah sekian lama adalah berkah.
Semua itu bisa terjadi berkat exoskeleton yang dikembangkan oleh para pakar dari Hospital of Grenoble Alpes, University of Grenoble, perusahaan biomedis Clinatec, dan pusat penelitian CEA. Sesuai namanya, exoskeleton berarti kerangka luar tubuh. Alat itu digerakkan oleh perintah otak.
”Teknologi ini telah memberi saya kesempatan hidup baru,” ujar Thibault kepada Agence France-Presse Kamis (3/10).
Pria dari Lyon, Prancis, tersebut mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa melakukan apa pun dengan tubuhnya. Karena itu, dia ingin menggunakan otaknya. Exoskeleton adalah jawaban atas keinginannya selama ini.
Thibault menceritakan, dirinya mulai lumpuh sekitar empat tahun lalu. Kala itu dia pergi ke kelab malam. Entah bagaimana dia terjatuh dari balkon yang terletak 12 meter dari permukaan tanah. Tulang belakangnya patah. Dia lumpuh dari bahu ke bawah.
Pada 2017 dia menjadi relawan Clinatec dan University of Grenoble. Tidak mudah memakai exoskeleton itu. Thibault harus menjalani operasi untuk menanam alat perekam di dua sisi area otak yang bertugas memerintahkan gerak tubuh.
Setelah menjalani prosedur tersebut, dia masih harus berlatih agar terbiasa menggunakannya. Dia menggunakan avatar untuk mengetahui otaknya sudah sinkron atau belum dengan alat yang diimplan itu.
Thibault harus berlatih selama berbulan-bulan sebelum akhirnya menguasainya. Baru setelah itu exoskeleton dipasang di tubuhnya. Alat tersebut tidak dipasang permanen seperti yang diimplan di otak. Melainkan hanya ditalikan ke tubuh.
”Ini rasanya seperti orang pertama yang berjalan di bulan. Saya tidak pernah berjalan, saya lupa caranya berdiri, lupa bahwa saya lebih tinggi daripada sebagian besar orang di ruangan ini,” ujarnya.
Thibault mengungkapkan, belajar berjalan memang susah. Tapi, yang lebih susah adalah menggerakkan tangan. Sebab, untuk melakukannya, dibutuhkan banyak koordinasi. Dia butuh waktu lama untuk belajar mengontrol gerakan tangan.