Oleh:
Siti Subaidah
Pemerhati Lingkungan dan Generasi
Sepekan terakhir ini media cetak maupun online di Balikpapan ramai memberitakan kasus pencabulan yang dilakukan oknum polisi terhadap lima orang murid SD.
Hal ini menjadi heboh dikarenakan oknum polisi yang menjadi pelaku tindak asusila tersebut juga merupakan guru mengaji dari para bocah-bocah tersebut.
Kasus terbongkar awal September 2019 lalu, ketika salah satu korban mengadu kepada orangtuanya. Tidak terima, orangtua kemudian melapor ke Polda Kaltim.
Kasus pelecehan seksual terhadap anak atau pedofilia bukanlah fenomena baru. Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus pelecehan seksual yang kini menghantui masyarakat. Perasaan waswas dan khawatir wajar terjadi karena yang menjadi korban sekarang tidak mengenal usia dan pelaku bisa siapa saja bahkan orang-orang terdekat sekalipun.
Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Balikpapan, Esti Santi Pratiwi bahkan menyebut pada 2019 ini kasus pedofilia terdapat sekitar 27 kasus dengan jumlah korban 23 anak perempuan dan 4 orang anak laki-laki.
Jumlah tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 19 kasus, baik berupa pencabulan, pemerkosaan, penyekapan dan lainnya. Kasus-kasus ini baru di Balikpapan saja, belum di daerah lain.
Banyaknya kasus pedofilia yang mencuat ke permukaan menunjukkan tingginya kasus pedofilia di Indonesia dan ternyata juga diakui Federal Bureau of Investigation (FBI). Biro investigasi asal Amerika Serikat itu bahkan menyebut, kasus di Tanah Air tertinggi se-Asia. Ini tak mengejutkan, karena dalam kurun empat bulan ini saja, jumlah kasus pedofilia yang ditangani kepolisian mencapai 92 perkara. Maka barang tentu Indonesia kini memasuki zona darurat pedofilia.
Pemerintah pun memberikan perhatian pada persoalan ini, yaitu dengan menawarkan solusi berupa hukuman kebiri kimia bagi para pelaku pedofil. Praktisi hukum, Abdul Rais pun menilai kebiri kimia bagi para pelaku cabul akan memberi efek jera. Kebiri kimia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, dalam Pasal 81 Ayat 5 disebut jika korban lebih dari satu maka penegak hukum harus melaksanakan hukuman kebiri kimia.
Kebiri kimia sendiri adalah praktik untuk menekan hasrat seksual, sehingga orang tersebut tak lagi berminat pada hubungan seksual. Cara yang dilakukan pada kebiri kimia adalah dengan menyuntikkan obat berupa senyawa kimia ke dalam tubuh.
Obat ini berfungsi mengurangi testosterone dan estradiol, hormon seksual pada pria. Efek obat ini mampu mengendalikan gairah seksual. Sekali suntik, pengaruh obat ini dapat berlangsung selama tiga hingga lima tahun. Lalu pertanyaannya, mampukah hukum kebiri menyelesaikan kasus pelecehan seksual pada anak atau malah menambah masalah?
Jika kita tarik persoalan ini dari sudut pandang Islam akan kita dapati hukum mengenai kebiri itu sendiri. Dalam Islam, kebiri disebut juga kastrasi. Hukum kebiri baik itu kebiri fisik maupun kebiri kimia merupakan hal yang diharamkan berdasarkan tiga alasan, yaitu pertama, syariat Islam dengan tegas telah mengharamkan kebiri pada manusia, tanpa perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha.