Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) memperkenalkan teknologi pengolahan lahan tidak subur berbasis nuklir. Melalui teknologi ini, tanah diolah sehingga bisa subur kembali. Diperkirakan di wilayah Indonesia, 75 persen dari luas lahan kualitasnya jelek sehingga tidak bisa ditanami.
Kepala Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Batan Totti Tjiptosumirat menuturkan perbaikan kualitas lahan yang mereka lakukan menggunakan teknologi bioremediasi. ’’Kondisi lahan pertanian yang semakin menyempit, perlu peningkatan kualitas lahan agar tetap produktif,’’ katanya di kantor Batan (30/9).
Totti menjelaskan teknologi bioremediasi diantaranya digunakan untuk menyuburkan kembali lahan yang tercemar logam berat. Umumnya lahan yang tercemar logam berat adalah lahan bekas tambang. Setelah disuburkan dengan menyebar sejumlah mikrorganisme, tanah tersebut diharapkan bisa ditanami kembali.
Peneliti Bidang Industri dan Lingkungan PAIR Nana Mulyana menuturkan lahan yang rusak saat ini tidak hanya bekas tambang saja. Tetapi sejumlah area pertanian juga mengalami kerusakan. Sehingga tidak bisa digunakan kembali untuk pertanian.
’’Tanah tidak subur disebabkan laposan atas atau top soil bisa karena alam atau tangan manusia,’’ tuturnya. Dia menjelaskan teknologi bioremediasi perlu dilakukan mengingat 75 persen lahan di Indonesia tidak subur.
Dia menegaskan mikroorganisme yang digunakan pada teknologi bioremediasi adalah dari lokal. Kemudian sifatnya tidak invasif atau menggerus mikroorganisme lokal. Secara teknis lahan yang akan disuburkan dibersihkan dahulu dari zat-zat yang merusak. Kemudian baru setelah itu menggunakan mikroba untuk menyuburkan tanah.
Nana lantas menjelaskan peran teknologi nuklir untuk penyuburan tanah dilakukan dengan radiasi media atau wadah penyimpan mikroorganisme. Media tadi diradiasi dengan sinar gamma dengan dosis 25 kGrey. ’’Dengan pancaran sinar gamma itu mikroorganisme dapat terjaga kualitasnya hingga masa penyimpanan satu tahun,’’ tuturnya. (wan)