Compulsive Buying Disorder, Candu Membeli, Lampiaskan Emosi

- Senin, 30 September 2019 | 16:49 WIB

EMOSI merupakan suatu hal wajar yang diungkapkan. Setiap manusia memiliki emosi berbeda-beda. Bergantung bagaimana setiap individu itu mengontrolnya. Tidak semua emosi dapat terlihat melalui bahasa tubuh, ekspresi wajah, tingkah laku, hingga perubahan diri.

Hal itu dijelaskan dr Yenny Abdullah SpKJ, semua bergantung kepada setiap individu itu mau memperlihatkan emosinya kepada orang lain atau hanya menyimpannya sendiri.

Tak terpaut usia, semua manusia memiliki emosi bahkan bayi. Namun, emosi yang dimiliki bayi atau anak-anak berbeda dengan emosi orang dewasa. Emosi orang dewasa biasa diutarakan melalui ekspresi dan tindakan.

Sementara emosi bayi atau anak-anak lebih diutarakan melalui tangisan, rengekan, teriakan, bahkan tindakan jika anak mengalami temper tantrum atau emosi meledak-ledak.

“Rasa marah tak hanya menunjukkan kelemahan, juga mengacaukan pikiran dan kerap berujung pada pengambilan keputusan yang salah. Kemarahan terbukti dapat merusak kesehatan mental dan fisik,” ucapnya saat disambangi di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam Samarinda.

Dijelaskan bahwa setiap individu memiliki emosi dan punya cara tersendiri mengungkapkan. Setelah membahas lampiaskan emosi melalui media sosial, ada pula melampiaskan emosi dengan membeli barang.

Terdengar aneh, tapi dr Yenny menjelaskan, penyakit mental yang gemar membeli barang itu benar adanya. Disebut compulsive buying disorder (CBD). Spesialis kejiwaan itu mendefinisikan CBD sebagai kondisi psikologi kronik. Hasrat berulang-ulang hingga kecanduan membeli barang atau jasa yang umum, maupun spesifik, misalnya perhiasan dan pakaian.

“Tidak ada penyebab pasti seseorang mengidap CBD. Faktor begitu beragam, salah satunya bipolar. Gangguan mental  menyerang kondisi psikis seseorang,” ujarnya.

Ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem, berupa maniak dan depresi. Istilah medis disebut manic depressive. Suasana hati penderitanya dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub bipolar berlawanan yaitu kebahagiaan atau maniak dan kesedihan atau depresi yang berlebihan, tanpa pola juga waktu pasti.

“Nah, CBD ini berada di sisi maniak. Tanpa berpikir panjang, penderita akan melakukan sesuatu hal yang sesungguhnya merugikan. Selain membeli barang, bisa saja tanpa sadar dia membagikan uang,” jelasnya.

Selain bipolar, CBD bisa disebabkan jika seseorang memiliki self control lemah atau kurang. Jadi, ketika emosi terlalu besar dan tak bisa ditahan lagi, akhirnya dilampiaskan dengan membeli barang.

“Konsep emosi itu sama seperti air mengalir, selalu ingin mencari jalan keluar. Jika mengalirkan air lewat selang, lalu di tengah selang kita lilit sampai air tidak bisa mengalir dan tersendat, akhirnya sisi selang yang terhubung dengan keran akan copot dan memuntahkan air yang tersendat,” bebernya.

Konsep air mengalir itu dikaitkan dengan CBD. Jika penderita sudah tak bisa membendung emosi, dia akan berbelanja apapun demi mengurangi rasa beban, sedih, kecewa, marah yang berlebihan dan tertumpuk.

Hal itu yang dirasakan Siska Dwi Putri. Meski saat ke psikiater dirinya tidak sampai didiagnosis CBD, beberapa sifatnya mendekati gejala awal CBD. Tidak nyaman atau gelisah apabila tidak berbelanja dalam jangka waktu tertentu.

“Jujur, dalam satu bulan saya ini bisa beli lebih dari tujuh barang. Entah itu tas, baju, atau aksesori lain. Saya juga enggak tahu pasti alasannya kenapa, tapi yang saya rasakan ada ketenangan dan rasa senang kalau belanja,” ucapnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Raffi-Nagita Dikabarkan Adopsi Bayi Perempuan

Senin, 15 April 2024 | 11:55 WIB

Dapat Pertolongan saat Cium Ka’bah

Senin, 15 April 2024 | 09:07 WIB

Emir Mahira Favoritkan Sambal Goreng Ati

Sabtu, 13 April 2024 | 13:35 WIB
X