Ancam Kebebasan Berekspresi, Banyak Masalah di RKUHP

- Sabtu, 21 September 2019 | 11:27 WIB

BALIKPAPAN- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih menjadi sorotan. Banyak klausul yang dinilai bermasalah. Mulai potensi penafsiran terhadap sejumlah tindak pidana yang bisa bermasalah hingga pasal yang dapat mengancam kebebasan berekspresi masyarakat. Termasuk dapat mengancam kebebasan pers.

Sejumlah aturan dalam RKUHP juga dinilai berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan aparat. Sebab, bakal ada multitafsir definisi hukum terhadap pasal yang disangkakan. Serta berdampak pada over-kriminalisasi sampai mengatur ranah privat warga negara.

Pro-kontra revisi revisi KUHP juga mendapat sorotan dari sejumlah akademisi di Kaltim. Pengamat hukum dari Universitas Balikpapan (Uniba) Piatur Pangaribuan menilai, apapun aturannya, bila pasal di dalamnya masih memuat tafsiran secara luas, akan terjadi kesewenang-wenangan yang bisa dilakukan penegak hukum.

Dalam menafsirkan isi dari pasal yang disangkakan, membuat tujuan penegakan hukum sulit untuk tercapai. “Apalagi di Indonesia yang kesadaran hukumnya masih belum maksimal, baik itu masyarakat maupun penegak hukum itu sendiri,” kata dia kepada Kaltim Post, Jumat (20/9).

Kesadaran penegakan hukum yang masih belum baik, ditandai dengan banyaknya keluhan dari masyarakat yang mempersoalkan penanganan kasus yang dilakukan aparat penegak hukum.

Piatur memberikan contoh dalam kasus yang ditanganinya. Tindak pidana perzinahan yang dilakukan aparat penegak hukum, tapi masyarakat biasa yang merupakan suami dari pelaku perzinahan yang dijadikan tersangka. “Itu sudah jelas-jelas pasalnya perzinahan. Apalagi yang memiliki penafsiran luas. Sering penegak hukum melakukan penafsiran bebas seperti ini,” sindir rektor Uniba itu.

Terhadap RKUHP, dia berpendapat bahwa seharusnya pembuat peraturan dalam hal ini, DPR juga menetapkan indikator secara jelas. Dari tindak pidana yang dimuat dalam revisi KUHP tersebut. Di mana pasal yang diatur, seperti dihidupkannya kembali pasal penghinaan terhadap presiden.

Dampaknya, ucap dia, akan dimanfaatkan oleh pihak yang memiliki kepentingan politik karena hukum dan politik tidak dapat dipisahkan. Serta membuat anggapan bahwa hukum hanya menjadi milik penegak hukum. “Faktanya seperti itu. Pasal yang sudah jelas, mereka tafsirkan lain. Ketika ada kepentingan, mereka akan sewenang-wenang menafsirkan,” jelas mantan calon anggota DPD RI itu.

Menurut pria kelahiran Asahan, 30 Mei 1973 itu, RKUHP juga bisa membungkam sikap kritis dari masyarakat. Terlebih aktivis di lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga akademisi yang giat mengkritik kebijakan atau tindakan dari pemerintah yang dianggap menyimpang.

Sementara itu, pengamat hukum lainnya dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Nur Arifudin menerangkan salah satu pasal yang menjadi perhatiannya adalah pasal tindak pidana korupsi (tipikor) yang masuk RKUHP.

Dengan demikian, kasus tipikor dikategorikan sebagai tindak pidana umum atau biasa, sehingga kewenangan penindakan tipikor, tidak sama dengan penanganan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang sebelumnya ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Tipikor masuk kejahatan luar biasa karena tidak diatur dalam KUHP sebelumnya. Dengan dimasukkan RKUHP, berdampak pada kewenangan KPK. Masih ada atau tidak? Jangan-jangan sudah tidak ada lagi,” papar dia saat dihubungi Kaltim Post, kemarin.

Wakil Dekan Fakultas Hukum Unmul itu melanjutkan, pada dasarnya mendukung adanya revisi dari KUHP yang digunakan selama ini. Sebab, aturan sebelumnya merupakan peninggalan Belanda, yang pasalnya sudah banyak ditinggalkan.

Dia menyebut, penyusunan RKUHP itu sudah dilakukan sejak 1970-an. Namun, dalam pengesahannya, selalu menghadapi persoalan mengenai pasal di dalamnya. Namun, menurut dia, sudah saatnya ada KUHP buatan sendiri. Sebab, faktanya, Indonesia sudah merdeka.

Dalam KUHP sebelumnya, masih adanya asas konkordansi yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau Belanda pada masa itu. Untuk diberlakukan juga kepada bangsa pribumi atau Indonesia. Sementara, secara sosiologis, masyarakat Eropa dan Indonesia berbeda. “Baik secara aturan hukum maupun norma tidak sama, sehingga perlu ada KUHP sendiri. Untuk menata perilaku masyarakat, yang tadinya belum baik menjadi aman tertib dan bermartabat,” harapnya dia.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X