SAMARINDA—Jumlah produksi batu bara Kaltim mengalami penurunan dari Juni 2018 yang mencapai 8.680.440.90 metrik ton (MT) menjadi 7.788.553,77 MT per Juni 2019. Penurunan ini ditengarai akibat faktor eksternal yakni dampak perseteruan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Untuk mengantisipasinya, Kaltim mencoba membidik negara lain sebagai tujuan ekspor selain Tiongkok. Seperti India dan beberapa negara Asia Tenggara.
Menurut Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara Dinas ESDM Kaltim, Baihaqi Hazami, tidak hanya jumlah produksi yang mengalami penurunan. Harga batu bara acuan (HBA) saat ini juga tengah melandai dari 72,67 USD/ton pada Agustus 2019 menjadi 65,79 USD/ton pada September 2019. Untuk HBA bersifat fluktuatif karena dipengaruhi kondisi dan permintaan pasar internasional.
Dalam kasus perseteruan dagang antara Tiongkok dan Amerika, kata Baihaqi, Negeri Tirai Bambu terpaksa menurunkan produksi barangnya karena pasar mereka terhambat di Amerika. “Dengan penurunan produksi barang ini, maka kebutuhan untuk energi Tiongkok juga turun. Permintaan batu bara dari luar negeri mereka turunkan,” jelasnya.
Di sisi lain, turunnya harga batu bara jelas berimbas pada harga dalam negeri. Perusahaan pertambangan batu bara harus mengatur strategi apakah memproduksi dalam jumlah besar atau menghemat produksinya. Sebab, HBA menggunakan acuan dolar Amerika Serikat atau USD.
“Maksudnya supaya nanti jika harga kembali bagus, mereka bisa menjual lebih banyak. Namun ini tergantung mekanisme masing-masing perusahaan. Tapi yang terpenting kita mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dulu sebanyak 25 persen kuota domestic market obligation (DMO). Setelah terpenuhi baru ekspor,” sambungnya.
Baihaqi menjelaskan, selama ini batu bara yang dikirim keluar Kaltim masih mentah atau hanya digunakan sebagai sumber energi. Saat ini belum ada industri hilirisasi yang memanfaatkan batu bara untuk menjadi produk turunan seperti bahan bakar gas atau bahan bakar cair. Padahal dengan upaya hilirisasi dapat memberi nilai tambah pada produksi batu bara di Kaltim.
“Namun untuk membangun hilirisasi batu bara juga memerlukan industri kimia. Para investor juga belum siap karena infrastruktur di sini belum mendukung,” ujarnya. Dia berharap dengan pemindahan IKN di Kaltim dapat berdampak untuk pembangunan infrastruktur dan industri. “Ke depan jika IKN telah berpindah ke sini, infrastruktur sudah menunjang, tentunya industri-industri akan meningkat dan kebutuhan energi meningkat. Otomatis produksi batu bara juga meningkat. Namun tidak usah untuk diekspor, cukup digunakan untuk industri saja,” pungkasnya.(*/ain/tom/k18)