Desember nanti, Nawawi Pomolango mulai bekerja sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019–2023. Bagaimana sikap mantan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda itu terhadap isu pelemahan lembaga antirasuah. Lalu apa program pemberantasan korupsi yang akan dia jalankan bersama empat pimpinan KPK lainnya? Berikut wawancaranya.
ANDA pernah bertugas di Balikpapan dan Samarinda yang bakal jadi daerah penyangga ibu kota negara baru (IKN). Bisa dijelaskan karakteristik perkara korupsi di dua kota tersebut?
Modus korupsinya enggak ribet. Masih konvensional soal pengadaan. Karena tidak ribet, kami akan kedepankan pencegahan.
Bentuk pencegahannya?
Yang pasti tidak mencontoh program pengawasan proyek oleh kejaksaan, yang jaksanya ditangkap KPK di Jogjakarta. Kami susupkan pejabat kami untuk mengikuti proyek-proyek IKN. Pak Firli (Irjen Firli Bahuri, ketua KPK baru) juga bilang, kami akan mengawal pemindahan ibu kota.
Langkah lain?
Untuk wilayah Kalimantan, penataan izin usaha pertambangan (IUP) kemungkinan bisa kami lanjutkan. KPK menemukan indikasi adanya penambangan ilegal, jetty tidak berizin, selisih pembayaran royalti, dan IUP yang belum clean and clear.
Bedanya dengan program pencegahan yang dilakukan pimpinan saat ini?
Modelnya mungkin beda. Kami tutup peluang-peluang tindakan koruptif. Mengawasi sambil menunggu-nunggu ada kejadian, terus kami ambil (tangkap). Enggak gitu. Yang kami lakukan adalah model pendampingan proyek. Misalnya, proyek infrastruktur jangan sampai kita lakukan model penindakan. Infrastruktur ketenagalistrikan kalau kami hajar dipenindakan jadi persoalan, itu yang dikhawatirkan malah.
Berarti selama kepemimpinan Anda bersama empat pimpinan lainnya takkan menggelar operasi tangkap tangan (OTT)?