SP3 Berpotensi Jadi Permainan

- Selasa, 17 September 2019 | 17:35 WIB

BALIKPAPAN–Rencana Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melemahkan lembaga antirasuah itu. Salah satunya mengenai perlunya surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dianggap menjadi celah fatal penanganan kasus korupsi. 

“Di mana banyak kasus SP3 yang keluar dari kepolisian maupun kejaksaan dalam setiap penanganan kasus,” ungkap Rektor Universitas Balikpapan (Uniba) Piatur Pangaribuan, kemarin (16/9).

Di Kaltim, dia mengambil contoh kasus dugaan korupsi kasus penyelewengan kas negara selama periode 2002–2008. Yang pernah menjadikan mantan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak sebagai tersangka pada 2010. Namun, selama dua tahun Faroek tidak kunjung disidang. Hingga akhirnya pada Mei 2013 keluar SP3 dari Kejaksaan Agung. “Di sini sejarah mencatat SP3 hanya akan menjadi dagangan dan permainan,” ucapnya.

Menurut dia, idealnya dalam sebuah kasus, sejak penyelidikan hingga penyidikan, penyidik kepolisian maupun kejaksaan pasti sudah mendapatkan bukti kuat untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Korupsi misalnya, tidak mungkin ditangani setengah-setengah. Karena akan menjadi preseden buruk bagi lembaga penegak hukum. “Ini penyidiknya yang tidak kompeten atau main-main. Iya, kecuali tersangkanya mati. Ya selesailah perkara. Mau enggak mau ya SP3,” ucapnya.

Setahun terakhir dia mengamati kinerja KPK memang cenderung pada penindakan. Operasi tangkap tangan (OTT) pun semakin gencar dilakukan. Karena lewat metode itu yang paling efektif untuk menjerat koruptor. Lengkap dengan barang buktinya. “Dan untuk mengungkap sebuah kasus korupsi, bahkan sebelum dilakukan OTT itu perlu waktu bertahun-tahun,” ucapnya.

Kata dia, aneh jika sebuah lembaga superbodi yang dibentuk dengan satu tujuan, memberantas korupsi justru dibatasi kewenangannya. Selama ini, tidak ada komplain dari publik terhadap kinerja KPK. Namun mengapa terdapat reaksi yang berlebihan dari kelompok lain yang dianggap selama ini menjadi korban penindakan KPK. “Kan yang bereaksi ini mereka yang selama ini, menurut data, sering terlibat kasus korupsi,” kata Piatur.

Dalam situasi korupsi masih menjadi penyakit bangsa, UU KPK disebut dia belum waktunya direvisi. Tinggal bagaimana sumber daya manusia di dalam KPK yang diperkuat. “Kalau ada yang kurang ya diperbaiki. Bukan berarti mengubah UU-nya,” ucapnya.

Penyadapan pun selama ini menjadi salah satu andalan penindakan kasus korupsi. Menjadi roh yang membuat KPK selangkah lebih maju hingga mampu melaksanakan OTT. Dengan draf yang menyebut penyadapan harus izin dengan dewan pengawas, maka ada celah negosiasi. “Ada potensi dewan pengawas ini yang akan mengambil alih permainan,” ucapnya.

Pandangan berbeda datang dari Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi STIE Balikpapan (Stiepan) Santoso. Dia menilai, Revisi UU KPK sah dan sesuai konstitusi. Menjadi kewenangan DPR RI untuk mengubah yang menurut mereka sudah sesuai keinginan rakyat. “Mereka kan membawa atas nama rakyat. Kan rakyat pula yang memilih mereka. Namun apakah memang sesuai keinginan rakyat?” katanya.

Rencana revisi disebut dia merupakan reaksi anggota DPR RI. Yang melihat bagaimana rekan-rekan mereka banyak menjadi pesakitan KPK. Dan itu wajar sebagai bentuk melindungi diri melalui mekanisme yang sah dan mampu dilakukan anggota dewan. “Iya, revisi hak mereka. Boleh revisi, tapi ya jangan kebangetan,” sebutnya.

Sekilas, dia melihat adanya penolakan Revisi UU KPK dari kalangan akademisi memang berasalan. Dengan 10 draf revisi yang dianggap mengancam, maka eksistensi KPK akan habis. “KPK ya tetap ada. Tapi kinerjanya tak akan seperti sekarang,” lanjutnya.

Kata dia, korupsi sejak lama telah menggerogoti negeri ini. Indonesia disebutnya tak akan maju dan berkembang jika para koruptor bebas. Sehingga diperlukan lembaga khusus yang bersifat superbodi dan memiliki keistimewaan seperti KPK untuk bisa menghadapinya.

“Kalau kepolisian dan kejaksaan melakukan tugasnya dengan benar, maka tak perlu ada KPK. Presiden Megawati saat mendirikan KPK itu kan menganggap dua institusi ini dulunya tidak mampu," bebernya.

Jika revisi itu terwujud, maka muaranya juga akan ke kepolisian dan kejaksaan. Mereka akan dituntut lebih garang untuk membasmi koruptor. Publik akan lebih kritis karena membuat perbandingan kinerja KPK sebelumnya. “Namun pertanyaannya mereka mampu enggak?” katanya.

Dikonfirmasi terpisah, Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko menganggap situasi mengenai Revisi UU KPK itu sarat dengan banyak kepentingan. Dalam hal ini, dia menyerahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). “KPK, DPR, partai politik, hingga mereka yang berkasus hukum pun punya kepentingan. Jadi kita percayakan ke Pak Jokowi,” ucapnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X