KPK di Ambang Kehancuran

- Senin, 16 September 2019 | 14:12 WIB

Oleh :

Adam Setiawan, SH

Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Masih segar di ingatan kita semua terkait polemik proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di mana proses seleksi yang dilakukan telah menyaring hingga 10 besar kandidat. Yang salah satu di antaranya mempunyai track record buruk dalam hal integritas. 

Kini hambatan yang lain datang mengadang ikhtiar KPK dalam pemberantasan korupsi. Yakni serangan legislasi. DPR RI melalui rapat paripurna telah menyetujui usulan revisi dua undang-undang. Salah satunya RUU tentang Perubahan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 Wacana merevisi undang-undang KPK memang bukanlah dagangan anyar. Sejak 2010 hingga akhirnya pada 2015, revisi UU KPK masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) jangka menengah 2015-2019. Tentu revisi ini telah menimbulkan persoalan baru. 

Ini tampak dalam berbagai penolakan demi penolakan disuarakan civil society. Menganggap dengan merevisi UU KPK, maka telah terjadi degradasi ikhtiar KPK dalam pemberantasan korupsi. 

Menurut penulis, ada dua persoalan yang perlu dicermati dan dipikir secara matang dari revisi UU KPK. Pertama, aspek substansial atau muatan RUU Perubahan UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK, antara lain; independensi KPK terancam. KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun; KPK dijadikan lembaga pemerintah pusat; pegawai KPK dimasukkan kategori ASN, sehingga berisiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.

 

Penyadapan dipersulit dan dibatasi. Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari dewan pengawas. Pembentukan dewan pengawas yang dipilih DPR RI dan menyampaikan laporannya pada DPR RI setiap tahunnya. Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri. Sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS.

Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan kejaksaan agung dalam melakukan penuntutan; perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria; kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas. Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan.

Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. Pelarangan ke luar negeri; meminta keterangan perbankan; menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi; meminta bantuan Polri dan Interpol.

KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan. KPK menetapkan suatu kasus penyidikan melalui proses yang sangat hati-hati karena tidak adanya penghentian penyidikan dan penuntutan; penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama satu tahun.

Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi; posisi KPK direduksi hanya melakukan koordinasi dan supervisi.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X