Pilkada tinggal setahun lagi, partai-partai mulai menyortir kandidat yang akan dipilih untuk diusung dalam laga akbar demokrasi itu. Di Kota Tepian, empat partai memanaskan mesinnya lebih dulu membuka penjaringan.
DI lain sisi, koalisi partai jadi harga mutlak lantaran tak ada parpol yang berhasil menyabet 20 persen keterwakilan atau sembilan kursi di Basuki Rahmat, markas DPRD Samarinda.
Banyak tidaknya partai berkoalisi, tidak menjamin produk hasil pilkada akan bersandar pada kebutuhan membenahi problematika Samarinda.
“Karena partai saat ini cenderung menempatkan diri sebagai kendaraan untuk berlaga dalam pilkada saja. Tidak mengawal penuh selepas terpilih,” ucap pengamat politik asal Universitas Mulawarman Lutfi Wahyudi, (15/9).
Koalisi untuk mengusung pastinya berangkat dari kepentingan partai ketika jadi kendaraan untuk berlaga. Karena itu, menyatukan banyak kepentingan akan lebih sukar dan melemahkan peran partai yang berujung jadi sekadar kendaraan politik. Kompromi kebijakan pun akhirnya hanya berlaku ketika pengusungan tersebut.
“Ini kadang tidak berlaku lama. Ketika calon yang diusung terpilih membuat kebijakan bisa saja partai pengusung paling getol menyoal,” sebutnya. Kepentingan jangka pendek ini muncul karena rendahnya kualitas kaderisasi partai menelurkan kandidat berkualitas.
Hal itu terlihat jelas ketika partai yang ada memilih membuka penjaringan. Padahal, tutur dia, puak punya fungsi rekrutmen politik sehingga kader yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menangani persoalan di Samarinda dapat disorong untuk berlaga di pilkada. Upaya seperti ini bukan hal susah jika dijalankan 2–3 tahun sebelum pemilu bergulir.
Seminimal mungkin, ada upaya dari partai untuk menginventarisasi sosok yang siap diusung. Tentunya, memiliki visi, solusi, atau konsep yang matang membangun daerah dengan rekam jejak yang berkompeten pula. “Bukannya pasif dan menunggu dilamar seperti membuka penjaringan,” sambungnya.
Celakanya, hal ini memiliki efek domino yang memperkeruh pengetahuan politik. Panggung politik pun menciptakan figur yang maju dengan menawarkan solusi membenahi Samarinda dengan slogan yang artifisial, bukan kerja nyata si figur yang selama ini mampu dilakukan. “Bukan pula klaim telah berhasil bangun ini itu, serta gaji untuk warga. Ini tidak menyasar kebutuhan pokok membenahi persoalan Samarinda,” sebutnya.
Pada akhirnya, pilkada akan selalu menyajikan pertarungan individual para calon dengan mengandalkan popularitas, elektabilitas, dan kualitas. “Tapi, soal kualitas selalu nomor buncit. Bahkan sering terlupakan,” katanya.
Lutfi berharap, akan muncul banyak figur yang resmi bertarung di pemilu. Semakin banyak pilihan, akan lebih menyehatkan demokrasi dan memberi pengetahuan politik ke masyarakat karena tersedianya alternatif. “Malah lebih baik karena ada pilihan,” tutupnya. (*/ryu/dns/k8)