CATATAN
Sukri Sikki *)
PEMBANGUNAN Samarinda akan selalu dinanti perkembangannya. Apalagi setelah ibu kota negara (IKN) diputuskan pindah ke Kaltim. Sebagai salah satu kota penyanggah utama, Samarinda dituntut lebih cepat berbenah di segala lini.
Wali Kota Syaharie Jaang belum lama ini menyatakan bahwa pihaknya serius memindahkan Balai Kota dari Jalan Kusuma Bangsa ke Samarinda Utara. Saya sangat yakin, rencana tersebut niatnya mulia dan patut didukung.
Namun, kalau berbicara skala prioritas, mungkin banyak yang lebih mendesak. Bagaimana dengan progres penanggulangan masalah banjir, penataan kawasan Sungai Karang Mumus (SKM), urusan perparkiran, hingga proyek-proyek yang belum tuntas.
Mengejar Piala Adipura juga penting untuk menasbihkan moto Samarinda sebagai Kota Tepian (Teduh, Rapi, Aman, dan Nyaman). Memindahkan Balai Kota tentu menyedot energi dan akan bersentuhan dengan pembebasan lahan.
Sementara itu, kita tahu bahwa urusan pembebasan lahan di Kota Tepian sering terkatung-katung, sehingga pembangunan terhambat. Lihat di sepanjang Jalan Bung Tomo, Jalan Sultan Hasanuddin, hingga Jalan Pattimura, Samarinda Seberang.
Beberapa titik tak kunjung dicor karena lahan warga belum dibebaskan. Titik-titik itu pun tetap sempit, meski sudah tampak jalan dua jalur. Saya pun teringat dengan bank tanah milik Pemkot Samarinda, mau diapakan?
Publik patut mengetahui dan merasakan manfaat bank tanah, seperti didengungkan pemkot pada masa kepemimpinan Achmad Amins-Syaharie Jaang. Pengadaan bank tanah dilakukan untuk jaga-jaga jika sewaktu-waktu pemkot memerlukan lahan.
Selain itu, masyarakat masih dihadapkan dengan maraknya aktivitas pasar tumpah di badan jalan. Demikian pula dengan urusan perparkiran. Contoh di Jalan Sultan Hasanuddin, Samarinda Seberang, meski telah ada pasar sementara, beberapa pedagang tetap berjualan di pinggir jalan.
Kegiatan itu jelas menghambat arus lalu lintas dan rawan kecelakaan. Namun, mau bagaimana lagi, di depan mata terpampang proyek pembangunan Pasar Baqa yang bertahun-tahun tak kunjung rampung.
Pak Jaang yang bakal menyudahi tugasnya sebagai wali kota pada 2021 diharapkan meninggalkan sesuatu yang monumental. Kalau yang tampak cuma Jembatan Mahkota II, sepertinya terlalu kecil bila dibanding waktunya 20 tahun di Balai Kota (10 tahun jadi wawali, dan 10 tahun jadi wali kota). (*)
*) Penulis: Wartawan Kaltim Post.