114 Dosen Unmul Tolak Revisi UU KPK, Ada yang Diteror

- Sabtu, 14 September 2019 | 23:42 WIB

TELEPON genggam Mahendra Putra Kurnia berdering terus. Tak sampai sejam, sudah ada 35 panggilan yang masuk dari 10 nomor. Nomornya pun tertulis berasal dari Amerika Serikat. Panggilan itu membuat Mahendra terganggu, kurang fokus dengan acara yang dia ikuti pada Rabu (11/9) siang.

“Dari situ curiga, ini kok dari Amerika yang telepon. Khawatir kalau aneh-aneh. Enggak mungkin Donald Trump kenal saya,” kata dekan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) tersebut.

Mahendra pun memilih tak mengangkat telepon dan memblokir nomor-nomor tersebut. Sore harinya, ketika bertemu dosen Fakultas Hukum Herdiansyah Hamzah, Mahendra menceritakan teror yang menimpanya.

Ternyata, hal serupa dialami oleh rekannya. Keganjilan memang mulai dirasa sejak Rabu dini hari, saat itu grup WhatsApp yang mereka ikuti, sudah ada dua. Grup tersebut merupakan grup yang berisi lebih dari 100 dosen dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam aliansi nasional dosen yang menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

Pada pagi hari, para anggota grup menyadari kalau ada dua grup serupa dengan anggota yang sama. Namun, di grup kloningan tersebut mengampanyekan hal berbeda dengan yang sebelumnya. “Jadi, admin yang sebelumnya men-share soal penolakan revisi UU KPK. Namun berbalik berbagi mendukung revisi UU KPK. Jadi, kami satu demi satu keluar dari grup,” kisah Mahendra.

Teror itu tak membuat dia dan kawan-kawannya gentar menyuarakan aspirasi menolak revisi UU KPK. Justru membakar semangat untuk semakin getol menolak revisi. Dari Unmul, ada 114 dosen yang menyatakan diri menolak revisi UU KPK. Mereka tergabung dalam Koalisi Dosen Universitas Mulawarman Peduli KPK.

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul Aji Ratna Kesuma yang juga tergabung dalam koalisi tersebut mengatakan, terbentuknya koalisi itu karena sebagai kaum intelektual merasa terganggu. Logika dalam rancangan revisi itu dianggap terbalik sehingga mereka pun menolaknya.

“Kami bukan gerakan politik. Tetapi, kami adalah gerakan moral, gerakan intelektual, atau gerakan intelektual berdasarkan moral,” tambah Aji Ratna dalam Diskusi Publik Menolak Revisi UU KPK di Fakultas Hukum Unmul, kemarin (13/9).

Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Unmul Herdiansyah Hamzah dalam kesempatan sama mengatakan selama 17 tahun berdiri, KPK sudah menangani 1.064 perkara. DPR dan DPRD yang paling banyak kasusnya dengan 255 perkara. Sementara yang getol “mengamputasi” KPK dengan rancangan revisi UU KPK adalah para anggota dewan.

Rancangan revisi UU KPK itu pun cenderung melemahkan. Ada beberapa poin yang mengganjal dari revisi tersebut. Pertama, KPK akan ditarik menjadi bagian dari cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan.

“Ini logika hukum ketatanegaraan yang menyesatkan. Sebab, KPK bukan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Namun, lembaga independen yang bebas dari pengaruh,” paparnya.

Kedua, adanya badan pengawas karena badan itu akan memperlemah KPK. Apalagi, jika badan pengawas sarat kepentingan dan dipilih DPR. Padahal, dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), KPK menjadi lembaga yang mendapat kepercayaan publik 84 persen. Jauh di atas DPR yang hanya mengantongi 61 persen.

Ketiga, lanjut dia, soal penyadapan harus mendapat izin dari badan pengawas yang integritasnya saja masih diragukan. “Lalu mengintegrasikan KPK secara penuh ke sistem peradilan pidana konvensional. Mulai penyelidik harus dari kepolisian, harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Itu jelas mematikan kekhususan KPK yang diberikan oleh undang-undang secara atributif. Bukankah untuk melawan kejahatan korupsi luar biasa harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa?” paparnya.

Kemudian, ucap dia, yang kurang tepat adalah pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) terhadap perkara yang tak selesai dalam jangka waktu setahun. Itu jelas akan memberi celah. “Misalkan saya tersangka, bisa saya ulur-ulur perkara saya secara administratif sehingga lebih melebihi batas waktu setahun,” sambung Castro.

Sementara poin lain adalah mengebiri kewenangan KPK atas kontrol terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), dengan menyerahkannya kepada instansi, kementerian, dan lembaga.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X