RABU (11/9) pagi, Febriyanti (25) memulai aktivitasnya. Mengantar sang adik ke sekolah, Febri merasa ada yang berbeda beberapa hari belakangan ini. Pandangannya tidak leluasa dan napasnya agak tercekat.
"Kayaknya mulai kabut asap. Soalnya, musim kemarau. Napas juga mulai enggak enak," ucap gadis yang tengah berjuang menyelesaikan skripsi itu.
Keberadaan kabut asap di Samarinda diamini prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Samarinda Sutrisno. Sayangnya, angka akurat tidak bisa didapatkan karena alat pengukur udara tengah rusak karena terendam banjir besar di Samarinda, Juni lalu.
Soal kondisi teknis ini, BMKG Samarinda pun telah bersurat dan menunggu teknisi datang untuk memperbaiki alat-alatnya. "Secara visual memang ada kabut asap. Namun, diperkirakan masih dalam kondisi ringan atau sedang. Skornya tak sampai di atas 150 microgram per kubik," jelasnya.
Dalam pantauan BMKG Samarinda selama dasarian pertama September, diakumulasi dari empat satelit, ada 1.243 titik panas yang muncul di Kaltim. Sedangkan pantauan pada Rabu (11/9), sekitar pukul 15.00 ada 65 titik panas di Kaltim. Disebutkan Sutrisno, kondisi ini lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya namun tidak lebih parah dari 2015.
Titik panas di Kaltim kebanyakan berada di kawasan Kutai Barat dan Mahakam Ulu, ini juga jadi faktor Samarinda kabut asap belum pekat. Sebab, pergerakan angin masih banyak di tenggara ke selatan. Berbeda jika angin bergerak dari barat ke timur. Maka asap bisa lebih pekat karena asap dari Mahakam Ulu dan Kutai Barat bisa bergerak ke Samarinda.
Penyebab kebanyakan kabut asap adalah adanya lahan yang dibakar manusia untuk membuka lahan. Maka dari itu, Sutrisno menyebut, pemerintah harus menindak para pembakar lahan. Apalagi, musim hujan di Samarinda datangnya masih lama. "Akhir Oktober atau awal November," sebut Sutrisno.
Diakui Sutrisno terjadi anomali pada musim kemarau tahun ini, sehingga lebih parah dari tahun sebelumnya. Penyebabnya pun masih menjadi tanda tanya dan pekerjaan rumah bagi BMKG Samarinda bahkan pusat untuk mencarinya.
Sebab, tak ada el nino, namun daerah pertemuan angin tak bergerak semestinya. Sutrisno mengatakan, pada 22 September, matahari akan berada tepat di atas ekuator. Seharusnya daerah pertemuan angin itu mulai bergerak ke selatan, namun sejauh ini belum ada pergerakan. (*/zaa/nyc/dns/k8)