Setiap tahapan dalam prosesi Bisoq Keris menyimpan makna. Begitu pula peranti yang digunakan. Air bersih, bunga, hingga wewangian memiliki nilai filosofis. Yang membuat pemiliknya semakin dekat dengan benda pusakanya.
WAHIDI AKBAR SIRINAWA, GIRI MENANG
Mencuci keris atau bisoq keris bukan tradisi kemarin sore. Budaya ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Hanya saja, tak banyak yang melaksanakannya secara massal. Dengan jumlah keris mencapai puluhan.
”Selama ini memang belum ada yang melakukan. Kalaupun ada, itu dilakukan sendiri-sendiri. Tidak seperti (sebesar) ini,” kata Ki Ageng Jelantik Sadarudin. Seorang dalang sekaligus pengemban budaya dan adat Sasak.
Bagi Sadarudin, Bisoq Keris merupakan hajatan yang baik. Perilaku positif ditunjukkan pemiliknya terhadap warisan benda pusaka, yang diwariskan kepadanya. Bertujuan menjadikan pemilik lebih dekat dengan kerisnya.
”Tentu setelah ritual ini, kita lebih merasa menyatu. Lebih aman, lebih enak rasanya kalau membawa benda itu,” tutur dia.
Ritual Bisoq Keris tak terlepas dari peranti yang ada. Sebagai bagian dari prosesi. Setidaknya ada empat hal yang paling dibutuhkan dalam ritual ini. Air, kembang atau bunga, wewangian, dan keris itu sendiri.
Karakter air, kata Sadarudin, sebagai sarana untuk membersihkan. Juga menyucikan sesuatu. Kemudian bunga, yang identik dengan keharuman. Menandakan bahwa tradisi Bisoq Keris merupakan sesuatu yang baik. Tidak sedikitpun berniat untuk menentang nilai agama.
Adapun keris, lanjutnya, sebagai gambaran ketajaman akal luhur dan akal budi. Pada dasarnya, keris selalu dipegang seorang laki-laki. Dengan benda pusaka itu, sang pemegang harus mampu menunjukkan keluhuran akal. Juga perbuatan baik.
”Semuanya ada maksud dan tujuannya. Ke depannya bisa menjadi sesuatu yang positif,” terang ia.
Keris bukan sekedar senjata pusaka. Benda klasik yang diwariskan secara turun temurun. Kata Sadarudin, setiap keris biasanya identik dengan pemegangnya. Karakter keris menyesuaikan karakter pemiliknya.
Tak jarang, orang yang hendak membuat keris, memiliki hitung-hitungan tertentu. Terutama untuk mengukur panjang dan bentuk keris. Ada yang mengukur menggunakan ibu jari. Juga selembar daun yang telah dibagi dua.
”Kalau karakter (orang) yang lembut dan halus, tentu tidak mau memegang (keris) yang keras,” sebut Sadarudin.