Haornas dan Mimpi ke Piala Dunia

- Senin, 9 September 2019 | 14:12 WIB

INDONESIA sukses menyelenggarakan Asian Games dan Asian Para Games 2018. Hal itu memacu pemerintah membina atlet olahraga nasional yang lebih serius. Salah satunya, cabang olahraga sepak bola.

Semangat itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Sepak Bola Nasional. Dalam inpres itu, presiden menginstruksikan kepada menteri Pemuda dan Olahraga untuk melakukan pembinaan sepak bola sejak usia dini dan usia muda secara berjenjang.

Mengapa sepak bola? Olahraga kaki itu menjadi fokus pembinaan pemerintah karena merupakan cabang olahraga paling populer di Indonesia. Penelitian Nielsen Sport mengungkapkan, sebanyak 77 persen penduduk negeri ini memiliki ketertarikan pada sepak bola. Jumlah itu akan bertambah jika Timnas Indonesia bertanding.

Tidak hanya di lapangan hijau, animo suporter sepak bola Indonesia dapat mudah dirasakan di luar lapangan. Tidak heran jika kemudian Indonesia menduduki urutan kedua sebagai negara “penggila” sepak bola setelah Nigeria.

Sebenarnya, pemerintah telah mempunyai payung hukum pembinaan olahraga nasional. Yaitu, Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Dalam UU tersebut, diatur ketentuan mengenai kegiatan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Dan kalau kita berkaca pada Pasal 18 UU tersebut, pembinaan olahraga usia dini masuk olahraga pendidikan.

Namun, UU tersebut hanyalah kerangka besar pengembangan olahraga di Indonesia. Diperlukan payung hukum teknis untuk mengembangkan talenta-talenta sepak bola nasional sejak dini.

Sebab, harus diakui bahwa ekosistem sepak bola Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Tidak hanya di tubuh PSSI-nya, pembinaan sepak bola di Indonesia juga terbentur oleh minimnya fasilitas dan kompetisi, terutama untuk usia dini dan usia muda, baik tingkat lokal maupun nasional.

Saya percaya, kunci meningkatkan prestasi olahraga adalah pembinaan dari usia dini, termasuk olahraga sepak bola. Karena itu, selain membenahi fasilitas dan memperbanyak kompetisi, hal lain yang perlu dilakukan adalah pembinaan atlet sepak bola sejak usia dini. Dukungan pemerintah yang tepat akan membuat sekolah sepak bola (SSB) usia dini di Indonesia bisa menyemai bibit-bibit unggul atlet nasional.

Tidak hanya fasilitas lapangan yang minim, contoh kecil yang saya temui di lapangan adalah masih banyaknya SSB usia dini menggunakan bola ukuran orang dewasa dalam latihannya. Padahal, bola untuk anak-anak ada ukurannya tersendiri.

Maka, saya telah menyalurkan bantuan bola sepak kepada klub-klub sepak bola hingga SSB di berbagai daerah di Kaltim. Saya berharap, dengan ukuran yang sesuai, kelak muncul pesepak bola andal dari Benua Etam yang tidak hanya membawa nama harum Kaltim, tetapi juga Indonesia di kancah internasional.

Kita bisa mencontoh yang telah dilakukan Thailand dan Singapura. Yang lebih berhasil melakukan pembinaan sepak bola. Untuk mendukung prestasi sepak bolanya, dua negara itu membangun banyak lapangan berstandar nasional. Bahkan, lokasinya bisa berdempetan empat lapangan sekaligus.

Biasanya lapangan itu digunakan untuk turnamen internasional setahun dua kali. Sehingga bisa sekaligus digunakan untuk sports tourism bagi anak dari luar negeri. Dua negara itu juga kerap mengadakan turnamen kelas internasional bagi SSB. Hal itu membuat anak-anak SSB lebih semangat untuk mengembangkan kemampuan sepak bolanya.

Untuk itu, PSSI maupun Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) harus satu suara dalam menggaungkan turnamen dan kompetisi sepak bola usia dini yang lebih terstruktur, permanen, dan tidak tumpang tindih. Pemerintah juga harus bisa memastikan jenjang karier yang baik, adil, dan kompetitif untuk memastikan masa depan atlet sepak bola nasional.

Pengembangan kemampuan pelatih SSB juga mutlak dilakukan. Indonesia perlu memperbanyak pelatih SSB berkualitas. Sebab, saat ini banyak pelatih SSB yang hanya  lulusan SMA. Mereka bukan guru olahraga dan tidak punya lisensi kepelatihan resmi.

Tidak kalah penting adalah memberikan pelatihan atau seminar kepada orangtua murid SSB tentang bagaimana risiko dan tanggung jawab jika anaknya ingin jadi atlet sepak bola. Sebab sering terjadi, ambisi orangtua membuat banyak anak dipaksa melakukan latihan melebihi porsi waktu latihan. Kemudian ditekan agar memenangkan setiap pertandingan. Kondisi ini tentu tidak baik bagi fisik dan psikis anak.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X