Muharam dan Nikah

- Sabtu, 7 September 2019 | 10:28 WIB

Oleh: Bambang Iswanto

Dosen IAIN Samarinda

Bulan Muharam datang setelah Zulhijah. Bulan Zulhijah di Indonesia sering diplesetkan menjadi “musim kawin”. Gedung-gedung yang biasa digunakan tempat resepsi, biasanya sudah penuh dipesan jauh-jauh hari. Para penghulu sibuk mengatur jadwal. Surat undangan bersilewaran.

Bagi orang tertentu malah kebingungan, apakah bisa dikunjungi semua atau tidak. Saking banyaknya undangan pada hari yang sama. Tidak ketinggalan katering-katering full order, harus menambah karyawan ekstra untuk memenuhi pesanan hajat pernikahan.

Jika ditelusuri, tidak ada dalil spesifik tentang keutamaan menikah di bulan Zulhijah atau bulan haji ini. Pelaksanaan pada bulan tersebut, tampaknya lebih didasarkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat turun-temurun saja. Ada perasaan merasa nyaman ketika menyelenggarakan pada bulan haji.

Bisa jadi dulunya, para leluhur ada yang menghubungkan peristiwa nikah dengan banyaknya asupan protein berupa daging. Sebab, pada bulan haji dilaksanakan pemotongan hewan kurban. Mungkin saja ada yang menghubungkan, variabel makanan bergizi dengan kualitas hubungan suami istri. Masih banyak kepercayaan lain yang bersifat “cocokologi” yang tidak terkait dengan agama.

Berbeda dengan Zulhijah, bulan setelahnya, Muharam justru dianggap sebagian masyarakat sebagai bulan yang dihindari untuk melaksanakan pernikahan. Bulan ini banyak yang “puasa” nikah. Lebih baik menunggu bulan selanjutnya. Anggapan seperti ini pun ternyata lebih berakar dari dalil sejarah turun-temurun yang susah dicarikan dalil spesifiknya. Sebagian masyarakat tidak merasa nyaman menikah pada bulan ini.

Bagi mereka yang menghindari bulan haji, semacam ada keyakinan, tidak baik menikah pada bulan tersebut. Ada anggapan, nikahnya tidak langgeng. Alasannya macam-macam. Hampir semuanya dihubungkan dengan peristiwa sama yang terjadi pada bulan yang sama.

Misalnya, ada yang beranggapan pada bulan yang sama banyak peristiwa yang tidak baik, seperti peperangan dan terbunuhnya tokoh-tokoh tertentu. Jadi, ada yang menyematkannya dengan label bulan “sial”. Untuk menghindari peristiwa yang tidak baik dan berulangnya siklus waktu “sial” tersebut, hindari pula melangsungkan hajatan pada waktu yang sama.

Menghubung-hubungkan peristiwa satu dengan yang lain inilah yang dijadikan patokan untuk merasa nyaman dan tidak nyaman melangsungkan acara pernikahan. Semua dikembalikan pada pendapat pribadi. Ada yang nyaman menikah pada bulan haji dan ada yang tidak nyaman menikah di bulan Muharam. Sekali lagi, berdasar pada dalil dan hitungan pribadi atau masyarakat tertentu.

Sementara jika merujuk pada dalil nash, tidak ada anjuran spesifik tentang bulan yang baik untuk menikah. Atau sebaliknya, tidak ada larangan untuk menikah pada bulan tertentu. Dua belas bulan yang diciptakan Tuhan tidak ada yang buruk. Bahkan bulan Muharam, termasuk satu di antara empat bulan haram yang diagungkan oleh Allah. Dalam sebuah hadis disebutkan, siapa yang berbuat buruk, akan lebih besar dosanya. Sebaliknya, bagi yang berbuat kebajikan akan lebih besar pahalanya. Menikah adalah perbuatan baik, pahalanya insyaallah akan lebih besar pula sesuai informasi dari hadis.

HUBUNGAN SEKS DI LUAR NIKAH

Muharam 1441 Hijriah cukup istimewa, karena sedang hangat-hangatnya diperbincangkan tentang hubungan seks di luar nikah. Pembicaraan dimaksud adalah ujian disertasi Abdul Aziz di UIN Jogjakarta. Disertasi yang berjudul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” tiba-tiba menjadi viral. Terlebih beberapa media memberitakan dengan judul “Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga: Seks di Luar Nikah Tak Langgar Syari’at”.

Anehnya, banyak orang yang hanya membaca judul dan tidak mengetahui alur ujian sidang, tiba-tiba jadi hakim yang memukulkan palu ke kepala Abdul Aziz, si penulis disertasi. Bahkan ada yang menghukum Abdul Aziz dengan sebutan duta mesum. Tidak sampai di situ, keluarga Aziz, anak dan istrinya, turut dihakimi dan diteror.

Tidak adil rasanya menghakimi Abdul Aziz dan keluarganya, hanya karena membaca berita yang tidak utuh apalagi hanya dari potongan judul berita, tanpa menelusuri secara detail apa yang sesungguhnya disampaikan. Atau jangan-jangan para “hakim” ini justru tidak paham dengan makhluk yang bernama disertasi. Tidak paham deretan panjang proses pembuatan disertasi, dari pengajuan judul, seleksi judul, seminar proposal, tahap bimbingan dengan para ahli, ujian seminar hasil, ujian pendahuluan, sampai ujian terbuka.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X