Bangun IKN Jangan Serampangan, Ini Pesan Pemerhati Lingkungan

- Kamis, 29 Agustus 2019 | 23:55 WIB

ASPEK lingkungan tak bisa dipisahkan dari pembangunan ibu kota negara (IKN) di Kaltim. Apalagi pembangunan IKN nanti akan memerlukan ribuan hektare lahan. Hal itu pun menjadi sorotan, apakah IKN bisa benar-benar dibangun dengan ramah lingkungan? Jangan sampai pembangunan IKN jadi proyek mangkrak di sisi lain ada sebagian hutan yang dibuka.

Pemerhati sosial dan lingkungan Kaltim Niel Makinuddin mengungkapkan, pembangunan di suatu wilayah tentu menimbulkan dampak lingkungan dan sosial. Besarnya dampak itu bergantung pada desain sedari awal. “Agar benar-benar menjadi milik warga masyarakat luas, maka rancang bangun calon IKN mesti dilakukan serial konsultasi publik,” kata dia.

Niel mengatakan, pekan lalu dirinya menghadiri dialog tentang penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Sasamba (Samarinda, Samboja, Balikpapan). Peneliti yang membantu kajian teknis-ilmiah penyusunan rencana zonasi tersebut menyampaikan bahwa kawasan perairan dan laut Sasamba daya tampungnya sudah terlewati. Sedangkan daya dukungnya masih memungkinkan ditambahkannya program atau kegiatan pembangunan namun dengan syarat yang ketat.

“Temuan awal seperti itu mesti ditindaklanjuti dengan kajian lebih komprehensif untuk memastikan kegiatan di hulunya atau wilayah daratannya termasuk rencana lokasi IKN itu tidak menambah beban lebih berat kepada daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut di bagian hilir,” urai Niel.

Dia melanjutkan, perlu disepakati soal definisi IKN ramah lingkungan. Menurut Niel, IKN ramah lingkungan adalah proses pembangunan, pemanfaat fasilitas, dan limbah dari IKN tidak memiliki dampak buruk kepada lingkungan atau berdampak minimal serta terkendali.

Contohnya, pembukaan kawasan hutan seminimal mungkin dan pembangunan gedung yang penggunaan listriknya efisien. Selain itu, ruang terbuka hijau (RTH) melebihi 30 persen dan ada sistem pemanenan hujan, juga alat transportasi menggunakan listrik. “Dengan kata lain, IKN ke depan memiliki peluang untuk dirancang sebagai IKN yang ramah lingkungan dan rendah emisi karbon,” imbuhnya.

Niel menambahkan, fase perencanaan dan perancangan seperti sekarang ini adalah fase yang amat menentukan dan sudah seharusnya dilakukan berbasis fakta serta analisis ilmiah yang cermat dan komprehensif

“Tidak boleh grusa-grusu (buru-buru). Desain IKN harus merefleksikan identitas Indonesia dan Kalimantan. Kombinasi kedua identitas itu akan melahirkan desain IKN yang unik dan menjadi kebanggaan bangsa maupun ikon yang mendunia,” papar Niel.

Meski begitu, diakui Niel, pembangunan IKN memiliki tantangan karena persoalan ingin cepat selesai dikejar target. Menurutnya, ada tantangan, yaitu proses perencanaan dan rancang bangun tidak berbasis ilmiah serta tidak melibatkan publik luas, karena ingin segera selesai dengan alasan tenggat waktu. “Selain itu, cakupan perencanaan tidak berskala bentang alam. Sehingga dampak dan biaya eksternal tidak terpotret serta tidak ada langkah antisipasinya,” sambungnya.

Niel menggarisbawahi pernyataan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro yang mengatakan, 50 persen kawasan IKN akan menjadi RTH. Lebih dari itu, kawasan lindung dan konservasi di sekitar calon lokasi IKN seperti Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, hulu Sungai Wain, mangrove di sepanjang pantai Teluk Balikpapan akan dipertahankan.

“Pernyataan politis itu harus diterjemahkan dalam kebijakan praktis dan perencanaan serta desainnya. Konkretnya, perlu diwujudkan dalam bentuk spasial (tata ruang),” jelas alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman tersebut.

Mengingat calon lokasinya cukup luas dan kondisi bentang alamnya beragam, Niel mengusulkan dilakukan kajian berbasis bentang alam menggunakan instrument perencanaan yang lebih dikenal dengan development by design (DbD).

Hasil kajian dan analisis DbD itu akan menghasilkan rekomendasi  empat hierarki mitigasi terhadap calon lokasi yaitu mulai avoid (harus dihindari), minimize (mengurangi dampak), restore (memperbaiki ekosistem), dan offset (mengganti di tempat lain).

Niel menekankan agar perencanaan harus benar-benar matang, jangan sampai pembangunan mangkrak apalagi serampangan. Padahal, sebagian kawasan hutan sudah telanjur dibuka atau rusak. “Mangkrak bisa disebabkan keterbatasan anggaran atau dinamika geopolitik nasional dan internasional,” ungkapnya.

MALAYSIA-BRUNEI

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X