Rencana pemerintah memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan ternyata tidak mendapat dukungan penuh dari Aparatur Sipil Negara atau ASN. Mayoritas dari mereka bahkan menolak ide yang akan diimplementasikan Presiden Joko Widodo alias Jokowi itu.
Hal ini tergambar dalam hasil survei yang dilakukan Indonesia Development Monitoring (IDM) pada 7 hingga 20 Agustus 2019 lalu, terkait pemindahan pusat pemerintahan dan ibu kota negara Indonesia.
Direktur Eksekutif IDM Harly Prasetyo dalam keterangan persnya pada Sabtu (24/8) menyebutkan, survei dalam bentuk tanya jawab dilakukan terhadap 1.225 responden ASN, mewakili 800 ribu PNS yang bertugas di pemerintahan pusat.
"Hasilnya sebanyak 94,7 persen ASN menolak ibu kota dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kalimantan. Sebanyak 3,9 persen setuju, sisanya abstain," ucap Harly.
Dia menerangkan bahwa alasan penolakan mereka didapati 93,7 persen menyatakan khawatir dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan anak yang kurang bermutu. Sebab, sarana yang berkualitas banyak di DKI Jakarta.
"Sebanyak 92,6 persen ASN menyatakan gaji dan pendapatan mereka tidak akan mencukupi biaya hidup mereka di ibu kota baru," ungkap Harly.
Dan ketika ditanyakan bagaimana jika mereka dipaksa pindah bertugas ke ibu kota negara yang baru, maka 78,3 persen akan mengajukan pensiun dini dari tugasnya, 19,8 persen akan ikut pindah dan sisanya menjawab tidak tahu.
Survei yang dilakukan IDM ini menggunakan metode multistage dandom sampling dengan jumlah respondent 1.225, pada tingkat kepercayaan 95 persen dan memiliki margin of error -/+ 2,1 persen.
JANGAN SENDIRI
Sementara itu Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menginginkan Presiden Joko Widodo mengajak lembaganya untuk membahas wacana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan. Menurut HNW, upaya pemindahan ibu kota tidak bisa hanya diputuskan oleh kepala negara, tetapi banyak pihak yang harus terlibat.
"Ibu kota itu bukan perkara keinginan sepihak, juga terkait UUD. Terkait UUD di Pasal 2 Ayat 2 menjelaskan MPR bersidang sedikitnya lima tahun sekali di ibu kota Negara, sekarang Jakarta. Kalau akan melakukan pemindahan, harusnya MPR di-sounding dong. Kenapa? Karena MPR sebagai perwujudan dari seluruh anggota dewan, itu juga penting bagaimana caranya tentang pemindahan ibu kota," kata HNW di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Alasan kedua, menurut HNW, penetapan Jakarta sebagai ibu kota Negara tercantum dalam undang-undang. Karena itu, perubahan ibu kota negara juga harus merevisi undang-undangnya.
"Negara harusnya mengajarkan rakyat Indonesia taat UU dan konstitusi, jangan dijangka sementara UU yang lama masih berlaku. Bagaimana nanti kalau DPR menolak?" kata politikus PKS ini.
Sampai sekarang, HNW mengklaim banyak rekan-rekannya di DPR menanyakan rancangan pemindahan ibu kota negara dalam bentuk dokumen. Namun, HNW menyesali pemerintah belum bisa menunjukkannya.
"Kemarin ketika membahas RUU APBN itu juga sama sekali tidak ada poin untuk anggaran pemindahan ibu kota. Jadi menurut saya pemerintah mengajarkan tentang konstitusi, UU, ikuti saja prosedurnya. Tentu DPR akan berlaku amanah dan profesional," pungkas HNW. (fat/tan/jpnn)