Arkeologi Tak Hanya Sekadar Bangunan Kuno

- Kamis, 22 Agustus 2019 | 11:15 WIB

Bagi Retno Isnurwindryaswari, arkeologi tidak hanya berbicara cagar budaya. Disiplin ilmu ini juga berbicara tentang seni, budaya hingga arsitektur. Faktor-faktor inilah yang menjadi penyemangat dalam menekuni profesinya hingga saat ini.

 

DWI AGUS, Jogja, Radar Jogja

 

Lubang berbentuk kotak menganga di sisi timur Pojok Beteng Kulon Keraton Jogjajarta. Di sisi dalam terlihat orang-orang memainkan kuas dan blower angin. Tujuannya untuk mengetahui konstruksi bangunan cagar budaya tersebut.

Dalam rombongan ini ada Retno Isnurwindryaswari. Perempuan ini merupakan arkeolog dari Balai Purbakala dan Cagar Budaya (BPCB) DIJ. Sesekali dia memandu para arkelog muda. Lain waktu dia juga terlihat serius dengan kontur susunan batu bata kuno pondasi beteng.

“Untuk ekskavasi arkelogi memang harus pelan-pelan, tidak bisa pakai mesin. Memang melelahkan, karena pondasinya keras. Tapi harus begitu agar struktur aslinya tidak rusak,” katanya saat ditemui di sela-sela ekskavasi arkelogi, beberapa waktu lalu.

Menunggu waktu istirahat, dia pun bersedia berbagi cerita dengan Radar Jogja. Mengawali kisah, dia menceritakan awal mula menjadi arkeolog. Jurusan Arkeologi UGM menjadi tonggak awal menyelami disiplin ilmu ini.

Arkeologi, awalnya, bukan landasan utama. Faktor utama justru seni dan budaya yang diwariskan kedua orangtuanya. Terutama dari sang ayah yang memiliki ketertarikan bangunan cagar budaya. Tidak hanya arsitektur, namun juga menimpan nilai sejarah, seni, dan budaya.

“Kuliah di arkeolgi hingga akhirnya bekerja juga di Arkeologi BPCB DIJ. Kalau diperhatikan, bangunan kuno justru lebih indah dari bangunan zaman sekarang. Bukti bahwa orang dulu benar-benar memperhitungkan aspek dalam dan luar,” ujarnya.

Pengalaman pertama melakukan ekskavasi arkeologi pada 1993. Kala itu dia diterjunkan untuk membantu eskavasi Candi Kedulan di Kalasan, Sleman. Walau masih berstatus mahasiswa, Retno muda sangat antusias. Terlebih tahun itu merupakan kali pertama Candi Kedulan ditemukan.

Seiring waktu berjalan, ekskavasi demi ekskavasi dia lakoni. Mulai dari Candi Ijo, kawasan Pleret hingga ekskavasi arkeologi kantor Kepatihan. Bahkan bulan depan, dia dan timnya akan melakukan ekskavasi Candi Miri di wilayah perbukitan Prambanan, Sleman.

“Ekskavasi itu berupa kajian sebelum memasuki rekonstruksi. Seperti bermain puzzle untuk menemukan tonggak awalnya,” bebernya.

Jogjakarta baginya memiliki keistimewaan tersendiri. Terbukti dari terkonsepnya tata ruang semenjak era Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sisi dalam beteng menjadi pusat pemerintahan kala itu. Selain strategis, dari segi arsitektur juga sangat kaya.

Bentuk-bentuk bangunan bukan sekadar tempat berteduh dan mengistirahatkan badan. Susunan bangunan tata ruang, khususnya sisi dalam beteng, memiliki filosofi kuat. Bahkan tata ruang ini selaras dengan adanya sumbu filosofis hingga Gunung Merapi.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Desak MK Tak Hanya Fokus pada Hasil Pemilu

Jumat, 29 Maret 2024 | 10:36 WIB

Ibu Melahirkan Bisa Cuti hingga Enam Bulan

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:30 WIB

Layani Mudik Gratis, TNI-AL Kerahkan Kapal Perang

Selasa, 26 Maret 2024 | 09:17 WIB

IKN Belum Dibekali Gedung BMKG

Senin, 25 Maret 2024 | 19:00 WIB

76 Persen CJH Masuk Kategori Risiko Tinggi

Senin, 25 Maret 2024 | 12:10 WIB

Kemenag: Visa Nonhaji Berisiko Ditolak

Sabtu, 23 Maret 2024 | 13:50 WIB
X